Two Moons [Chapter 3]


twomoon3

-Heena Park Present-

.

Starring: Shin Hee-Ra, EXO's Kai, EXO's Se-Hun, others.

.

Fantasy–Romance–Action//PG–15//Multichapter

.

PosterBySifixo@PosterChanel

.

Notes : ff ini sudah pernah aku share sebelumnya, dan kali ini aku mau me-remake ff tersebut.

.

.

TWO MOONS

©2016

.

Sinar matahari menyeruak masuk tanpa permisi melalui celah-celah kecil serta jendela kaca, berhasil membuat Hee-Ra menggeliat di atas kasur. Serentetan kejadian kemarin malam masih terekam jelas dalam kepalanya. Kai yang tiba-tiba menolong bagaikan Superman, jaket hitam yang disampirkan pria itu padanya, Hee-Ra masih sangat mengingatnya.

Ia bangkit dan memasukan jaket milik Kai dalam totebag, berniat untuk membawanya ke laundry. Membayangkan bagaimana sikap Kai kemarin cukup membuat pipi Hee-Ra merona. Mereka sempat mampir ke minimarket dan Kai membelikan sekaleng minuman untuknya.

Sekelebat pikiran tentang bagaimana rasanya menjadi kekasih Kai lewat begitu saja dalam pikiran Hee-Ra. Apakah nantinya Kai akan terus bersikap semanis dan seperhatian itu? Kalau iya, pasti gadis yang menjadi masa depan Kai sangat beruntung.

Hee-Ra terhenyak sebentar sebelum menyadari jarum kecil pada jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ia tidak boleh terlalu larut dan harus segera berangkat ke kampus.

Good morning,” Choi Jin-Hee meletakkan roti di tangannya dan menghampiri Hee-Ra, kemudian merangkul putrinya. “Kau yakin baik-baik saja? Bagaimana kalau kita ke dokter dulu?”

Hee-Ra menggeleng, “Aku baik-baik saja ma, ngomong-ngomong di mana papa?”

“Membawa mobilmu ke bengkel, kemarin sebelum pria yang mengantarmu pulang, dia memberitahu di mana mobilmu berada,” ia berhenti sebentar, seberkas senyum tergambar, “apa kalian saling mengenal?”

“Kami berada dalam kampus yang sama,” Hee-Ra mengambil sehelai roti dan mengoleskan selai nanas di atasnya, “terlalu awal kalau aku menyebutnya teman.”

Tak mengerti kenapa putrinya berkata demikian, Choi Jin-Hee mengerutkan kening, “Kalian tidak berteman?”

Sejujurnya Hee-Ra ingin sekali menyebut Kai sebagai temannya, tapi apakah nantinya Kai akan terima? Bagaimana kalau Kai bahkan tidak menganggap keberadaan Hee-Ra?

“Aku akan memakan roti ini di mobil, Mr. Han yang mengantarku ke kampus-kan?”

Choi Jin-Hee mengiyakan pertanyaan Hee-Ra. Ia mengusap rambut putrinya sebentar sebelum akhirnya mengantarkan Hee-Ra sampai ke pintu depan. Dalam hatinya bergejolak, kalau pria kemarin tidak datang, apa yang akan terjadi pada Hee-Ra? Choi Jin-Hee tidak bisa membayangkan kalau sesuatu yang buruk terjadi pada anak sematawayangnya.

“Nona Shin Hee-Ra, lama tidak bertemu,” suara bariton khas seorang pria terdengar nyaring di telinga Hee-Ra. Nampak Mr. Han sudah berdiri di samping mobil sembari membukakan pintu.

Ia adalah sopir keluarga Hee-Ra sejak bertahun-tahun lalu. Dulu, waktu Hee-Ra masih tinggal di Korea, Mr. Han-lah yang selalu mengantarnya kemanapun. Hanya saja setelah keluarga Hee-Ra pindah ke Amerika, Mr. Han bekerja pada keluarga bibinya di Incheon.

Hee-Ra tersenyum tipis, ia mengucapkan terima kasih setelah Mr. Han menutup pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Sebelum ke kampus, Hee-Ra meminta agar Mr. Han mengantarnya ke laundry. Mereka berbicang dan mengingat masa ketika Hee-Ra masih kecil, mengingat betapa cengengnya Hee-Ra kala itu, Mr. Han tertawa terbahak-bahak.

“Aku akan pulang dengan temanku nanti,” Hee-Ra berkata dari samping jendela Mr. Han, “thanks,” tambahnya.

Haruskah Hee-Ra menemui Kai untuk sekedar mengucapkan terima kasih dan memberitahu tentang jaketnya?

Ya, tentu saja.

Hee-Ra mengelilingi kampus, mencari keberadaan pria itu. Apa dia belum datang? Sedari tadi tidak ada tanda-tanda keberadaan Kai, sampai dua mobil bewarna merah terparkir tak jauh darinya.

Itu dia.

Berpikir sebentar, haruskah Hee-Ra menghampiri Kai? Atau lebih baik menunggu sampai Kai lewat di depannya? Tidak, Hee-Ra harus berani menghampiri Kai dan mengatakan maksudnya.

Ia melangkah ragu, tidak yakin kalau Kai mau berbicara dengannya. Terlebih, ia sedang bersama dengan teman-temannya saat ini. Bagaimana kalau nanti Kai mengabaikannya? Atau yang lebih parah, ke-enam pria tampan di depannya itu akan menganggap Hee-Ra sebagai wanita aneh.

Kedua kakinya terhenti, berat rasanya bagi Hee-Ra untuk mendongakkan kepala dan menatap kedua manik mata Kai—dan teman-temannya, tentu saja.

“Aku ingin bicara sebentar.”

Bagus Shin Hee-Ra, kau harus berani, lagipula tidak ada salahnya berbicara dengan teman sekampus, bukan?

Kai tidak menjawab, melainkan mengedarkan pandangan pada kelima temannya. Beberapa detik kemudian mereka pergi, kecuali Kai. Ia menatap Hee-Ra penasaran, kedua lengannya disilangkan.

“Aku ingin berterima kasih padamu karena telah menolongku kemarin,” jantungnya berdebar lebih kencang daripada biasanya. Bibirnya mengering sehingga Hee-Ra harus menjilatnya beberapa kali. Tunggu dulu, Kai tidak melihatnya sebagai gadis penggoda hanya karena menjilat bibir-kan?

“Sama-sama.”

Meh, singkat sekali.

Ehm…” Kepalanya kebingungan harus merangkai kata seperti apa, ia tidak boleh membuat Kai menunggu lama seolah sedang mengulur waktu. “Jaketmu masih di laundry, aku akan mengembalikannya besok. Tidak apa-apa kan?”

“Tidak apa-apa.”

Lucu sekali. Apa Kai benar-benar tidak ingin berbicara dengannya?

“Baiklah,” Hee-Ra menggigit bibir bawahnya. Ia berbalik dan berniat untuk segera pergi dari hadapan Kai, tak tahan pada sikap dingin pria itu. Jujur saja, Kai membuat Hee-Ra merasa tak diinginkan.

Namun lengannya tiba-tiba ditarik, ia refleks berbalik ke belakang dan kedua matanya bertatapan dengan Kai. Bola mata hitam nan menawan dengan lingkaran gelap tipis di sekelilingnya adalah ciptaan Tuhan yang tak mungkin bisa Hee-Ra tolak.

Lengan kanannya masih berada dalam cengkeraman Kai, mereka terhenyak selama beberapa detik sampai bisa kembali pada kesadaran masing-masing.

“Kembalikan jaketku se-usai jam kampus di halaman belakang besok.”

Hee-Ra memaki dirinya sendiri begitu Kai pergi tanpa berbalik sama sekali, sedangkan dirinya masih mematri bak patung abadi. Gerakan spele dari Kai begitu berpengaruh baginya. Ketika lengannya berada dalam genggaman dingin Kai, otaknya seperti membeku dan tak bisa berpikir jernih.

Mungkin Hee-Ra kelewatan, tapi ia baru teringat kalau nomor yang kemarin dihubungi bukanlah milik Kai, melainkan Se-Hun. Lalu kenapa yang datang Kai? Apakah mereka benar-benar gay?

Oh shit, kalau sampai benar adanya, maka tidak heran Kai menjawab sedingin tadi.

“Shin Hee-Ra?”

Min-Ho yang tiba-tiba datang, menepuk pundaknya dari belakang. “Kau sedang apa?” lanjutnya.

Hee-Ra tidak mungkin mengatakan kalau ia baru saja menemui Kai, “Tidak ada. Kau mau ke kelas?”

Mengiyakan pertanyaan Hee-Ra, Min-Ho kemudian menggenggam tangan gadis di sampingnya, “Ayo pergi bersama.”

Gerakan Min-Ho membuat Hee-Ra tersentak, namun ia tidak menarik tangannya. Begitupula Min-Ho yang nampak tidak memerdulikan perubahan ekspresi Hee-Ra, ia hanya terus mempererat genggamannya walaupun banyak mahasiswa memperhatikan. Mungkin sebentar lagi akan ada gosip kalau keduanya berpacaran.

“Apa rencanamu akhir Minggu?”

Hee-Ra berpikir sebentar, sebenarnya ia berencana malas-malasan di rumah seharian sambil membaca Webtoon dan mengemil sepuasnya.

“Tidak ada, kenapa?”

Min-Ho tersenyum puas, wajah tampannya berpadu manis dengan gigi putih miliknya, “Bagus. Kau suka film horor? Lebih ke pembunuhan sih sebenarnya.”

“Lumayan.” Terakhir kali Hee-Ra menonton film horor, ia hanya menunjukkan ekspresi bosan sementara teman-temannya berteriak tak karuan. “Memang kenapa?”

“Mau pergi denganku? Maksudku menonton film. Tae-Yong tidak bisa pergi karena ada acara keluarga, sementara Jennifer dan Ma-Ri takut pada film seperti itu.”

Ugh. Jadi Hee-Ra sekedar pilihan terakhir ketika mereka tidak bisa? Menyebalkan.

“Baiklah, aku akan pergi denganmu.”

 

 

Semakin larut ia datang, semakin gadis itu terlelap dalam tidurnya. Kai menyandar pada dinding dan menyilangkan kedua lengannya. Matanya menatap intens gadis yang sedang tertidur pulas di depannya.

Mungkin ia sedang mimpi indah sehingga garis wajahnya terbentuk sempurna bersamaan dengan tergambar jelasnya senyuman manis dalam raut tenangnya. Mungkin teman-temannya akan berkata kalau ia sudah gila, datang diam-diam ke rumah mahasiswi baru dan memandanginya sepanjang malam.

Bukan tanpa alasan Kai melakukan itu. Semenjak kejadian kemarin malam, otaknya selalu dipenuhi akan keselamatan Hee-Ra. Ia bertindak posesif pada seseorang yang bahkan bukan siapa-siapanya.

Setidaknya Kai akan menghabiskan waktu sekitar tiga sampai empat jam, kemudian pulang ke rumah untuk tidur sejenak.

Lihat, sudah menunjukan pukul tiga pagi. Kai mengucapkan selamat tinggal dengan menarik selimut Hee-Ra sampai ke leher kemudian menghilang dalam kepulan asap tipis.

Teleportasi membuatnya mudah untuk pergi kemanapun, begitu sampai di rumah, Se-Hun sudah duduk manis di atas kasurnya. Ia melemparkan tatapan penuh tanda tanya, seolah tahu ada kejanggalan yang terjadi pada Kai.

“Kau pergi ke tempat gadis itu?” Se-Hun mengerutkan keningnya.

“Siapa?” Kai melepas jaket dan kaosnya, ia berbaring di samping Se-Hun sembari menutupi kedua matanya menggunakan lengan kanan.

Paham kalau Kai berusaha menghindari pertanyaan, Se-Hun segera mengeluarkan suaranya, “Aku tahu dia kemarin menelepon ke nomorku, tapi kau yang mengangkatnya.”

“Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”

“Tidak Kai,” kenapa ia tidak mau mengakui kebenaran sih? “Kau berusaha melindunginya-kan? Kau menyukai gadis itu?”

Tak nyaman dengan pertanyaan menyudutkan yang keluar dari mulut Se-Hun, Kai bangkit dengan kasar dan membuang tatapannya, “Gadis yang mana? Aku benar-benar tidak tahu siapa yang kau maksud. Ah ya, lagipula bagaimana bisa gadis yang kaubicarakan itu mendapat nomormu? Apa kau membagikannya secara cuma-cuma pada seluruh orang di kampus?”

Jadi sekarang Kai berniat memojokkannya?

Se-Hun menggeleng, “Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan nomorku, tapi aku tahu pasti bahwa dia adalah si mahasiswa baru yang tadi berbicara denganmu.”

Kalau memang benar memangnya kenapa? Apa Se-Hun tidak suka? Cih.

Se-Hun menghela napas panjang. “Kau harus ingat siapa kita dan apa tujuan kita kemari, jatuh cinta akan membuat segalanya  tambah runyam.”

Kai tersenyum kecut, “Kau tidak perlu menasihatiku seolah-olah kau pernah jatuh cinta sebelumnya,” ia berhenti sebentar dan memfokuskan pandangannya pada Se-Hun, “kita semua tahu kalau kau tidak pernah berhubungan dekat dengan wanita, bahkan pada ibumu. Ah, aku lupa kau tidak punya ibu.”

“Tutup mulutmu!”

Bukannya diam, Kai malah senang mendapat reaksi penuh amarah dari Se-Hun. Well, siapa suruh ia mengiterogasi dan menasihati Kai seperti tadi.

“Aku bukannya tidak memiliki ibu, tapi aku memang tidak berniat bertemu dengannya.” Se-Hun bangkit dari kasur dan berjalan ke arah pintu. Ia berhenti sebentar sebelum benar-benar keluar, “Terserah kalau kau menyukainya, lagipula aku sudah berusaha menasihatimu. Ya, walaupun aku tahu kepalamu sama kerasnya dengan beton. Satu lagi, aku akan menganggap seolah kita tidak pernah melakukan pembicaraan penuh omong kosong ini.”

 

 

“Apa itu?” suara nyaring Ma-Ri menyerbu begitu Hee-Ra duduk dan meletakkan kantong plastik bewarna putih berisi jaket milik Kai.

“Jaket, aku meminjamnya dari seseorang,” jawabnya.

“Kita jadi pergi-kan malam ini?” kali ini Min-Ho yang bertanya, ia mengeluarkan dua lembar tiket dan menunjukkan di depan kedua mata Hee-Ra, “aku sudah membeli dua tiket film Tag untuk kita.”

“Tunggu dulu, kalian pergi kencan?”

Benar-kan? Mereka pasti berpikir yang berlebihan. Lihat Jennifer sekarang.

Hee-Ra buru-buru mengibaskan tangan, “Tidak, kami hanya pergi menonton film…horor.”

“Cuma nonton? Benarkah?” Oh sialan, Tae-Yong ikut menyerang.

Min-Ho membuat pembelaan, ia menggerutu, “Tentu saja sebagai pria aku akan mengajaknya makan malam. Puas?”

Ketiganya tertawa keras sambil bertepuk tangan, jawaban Min-Ho seolah mengiyakan bahwa ia sedang mengajak Hee-Ra berkencan.

“Kan, apa kubilang? Setelah menutup hati selama tiga tahun akhirnya kau menemukan gadis yang cocok juga,” Tae-Yong menepuk-nepuk punggung Min-Ho. “Well, sebenarnya aku berniat menjadikan Hee-Ra milikku, tapi karena kau berniat mengambilnya, aku akan mengalah.”

Huh, casanova.

You guys, seriously,” Hee-Ra mendesah berat. Ia bangkit dan kembali menggenggam kantong plastik yang sempat ditaruhnya, “Aku pergi dulu, ada seseorang yang harus kutemui.”

Skak mat! Kau kalah Choi Min-Ho, Hee-Ra sudah punya calon,” Tae-Yong menepuk kedua tangannya di atas kepala. Sementara Hee-Ra hanya menggeleng.

“Kita lanjutkan omong kosong ini nanti. Oh ya Ma-Ri, pelatih teater mencarimu,” ucap Hee-Ra kemudian beranjak pergi.

Ia sudah berjanji akan menemui Kai se-usai kuliah. Beberapa kali Hee-Ra melirik jam tangannya, takut kalau ia datang terlalu cepat atau terlalu lambat. Matanya menangkap sosok Kai sedang duduk di atas batang pohon yang telah ditebang.

Hee-Ra menepuk punggungnya, “Hai,” gumamnya canggung.

Kai memberikan kode agar Hee-Ra duduk di sampingnya. Tanpa penolakan, Hee-Ra mengangguk dan segera duduk di dekat Kai. Ia menyodorkan kantong plastik tersebut, “Terima kasih, maaf sudah menyusahkanmu.”

Kai menerima uluran kantong plastik dari Hee-Ra dan menyimpannya dalam ransel. Ia kembali menengok ke arah Hee-Ra. “Kau mendapatkan nomor Se-Hun darimana?”

Terlalu frontal. Hee-Ra bergeming tak tahu harus menjelaskan dari mana. Otaknya berusaha merangkai kata sehingga bisa masuk akal untuk di dengarkan.

“Kau bukan penguntit-kan?”

Apa?

Apa Hee-Ra tidak salah dengar? Kai menyebutnya penguntit? Serius, ia tidak habis pikir pada pikiran pendek pria di sampingnya. Bagaimana mungkin gadis berwajah polos seperti Hee-Ra disebut penguntit? Mulutnya benar-benar harus di sekolahkan.

“Penguntit? Kau pikir aku sudah gila?” Hee-Ra melayangkan protes, wajahnya memerah sebal. “Sejujurnya aku mendapatkan nomor itu secara tidak sengaja. Ma-Ri berniat mengajak Se-Hun bergabung dalam pementasan drama, makanya ia meminta nomor Se-Hun pada seseorang dan menulisnya di kertas. Kebetulan Ma-Ri lupa kalau kertasnya tertinggal di mobilku, dan waktu aku dalam masalah kemarin hanya nomor itu yang bisa kuhubungi—tentu saja karena pikiranku kalut.”

Sudah cukup meyakinkan, bukan?

“Oh,” Kai berdiri. “Jaga dirimu baik-baik, Shin Hee-Ra,” ia menepuk pundak kanan Hee-Ra, membuat Hee-Ra sekali lagi bagaikan terkena serangan jantung. Tubuhnya lemas, napasnya tak beraturan, kenapa gerakan spele dari Kai selalu berakibat fatal bagi dirinya?

 

 

Keduanya baru saja selesai menonton TAG, sebuah film bergenre horror-thriller. Walaupun tidak ada adegan di mana Hee-Ra berteriak dan bersembunyi di balik lengan Min-Ho, namun pria itu cukup senang karena Hee-Ra sudah mau menemaninya.

“Kau mau makan apa?” Min-Ho menengok ke arah Hee-Ra, mendapati gadis itu sedang berpikir sejenak.

“Ehm…aku tidak terlalu mengerti makanan di sini. Kau mau makan apa?” tanyanya balik.

Min-Ho tersenyum manis, “Aku menawarimu dan kau malah bertanya padaku,” ia tertawa kecil sebentar. “Bagaimana kalau kimbab? Ada restaurant kimbab yang enak di dekat sini.”

Kedengarannya enak, Hee-Ra menyetujui keinginan Min-Ho. Untungnya restaurant itu tidak berada jauh dari bioskop sehingga mereka tak perlu membuang banyak waktu dan tenaga.

“Ngomong-ngomong kuharap kau tidak memasukkan hati omongan Tae-Yong tadi,” Min-Ho mendengus, “ia memang suka bicara sembarangan,” akunya kesal.

Hee-Ra tertawa, ia menepuk-nepuk punggung tangan Min-Ho di atas Min-Ho sembari menutupi mulutnya sendiri, “Kau tidak perlu khawatir, aku tahu Tae-Yong seperti itu.”

“Oh ya Shin Hee-Ra, kulihat kau tidak terlalu histeris tadi. Sepertinya mengajakmu untuk menonton film horor lagi pasti tidak masalah-kan?”

“Yah,” Hee-Ra mengangguk-anggukkan kepalanya, “asal kau yang bayar.” Tawanya pecah begitu menyelesaikan kalimat barusan. Tidak, Hee-Ra bukannya gadis matre yang berdiri di atas uang. Ia hanya bercanda, sungguh.

“Tidak-tidak, aku hanya bercanda. Lain kali aku akan menraktirmu nonton dan makan,” jelasnya pada Min-Ho.

Rupanya Hee-Ra bukanlah gadis cuek dan serius. Min-Ho yang semula mendikte gadis di depannya sebagai si agak dingin dan serius mulai meluntur. Jujur saja ia baru pertama kali melihat Hee-Ra tertawa selepas tadi.

“Aku jadi ingin tahu bagaimana pergaulanmu di Amerika, kau tidak keberatan-kan?”

Hee-Ra menaikkan satu alisnya, mengingat Amerika sama halnya dengan mengingat Daniel. Sesungguhnya Hee-Ra sudah tidak terlalu memikirkan pria itu akhir-akhir ini, tapi pertanyaan Min-Ho membuat memorinya kembali berputar.

“Mungkin kebanyakan orang mengira pergaulan di Amerika menjurus pada arah negatif, sebenarnya itu tergantung pada pribadi masing-masing. Begitupula aku. Jujur saja aku ti—“

DORR!

Suara tembakan beserta pecahan kaca berhasil membuat seluruh orang yang ada di dalam ruangan berlarian. Min-Ho yang tampa permisi langsung menarik lengan Hee-Ra untuk berlari menyelamatkan diri dari sekumpulan orang jahat bertopeng memilih jalan belakang.

Napasnya terengah-engah, keringat dingin jelas bercucuran dari tubuh keduanya. Mencoba menerobos lewat dapur yang kenyataannya sudah dipenuhi darah juga mayat para chef tak berdosa.

Mereka kalut, tak tahu dari mana orang-orang tadi berasal. Yang Min-Ho tahu hanya Hee-Ra sedang berbicara dan sekumpulan orang datang memecahkan kaca serta menembak tak terkendali.

Teriakan dan tembakan masih terdengar jelas di telinganya. Sebelum kaki melangkah lebih jauh untuk ke halaman, menyadari seseorang datang dari arah kanan, Min-Ho langsung menarik Hee-Ra untuk masuk ke toilet. Ruangan yang cukup kecil mengharuskan Min-Ho untuk menghimpit tubuh Hee-Ra ke dinding.

Ia bisa melihat raut takut dari wajah gadis di depannya. Rasa bersalah muncul begitu saja dalam dadanya. Kalau saja ia tidak mengajak Hee-Ra kemari, pasti mereka tidak akan menghadapi siatuasi seperti ini.

“Aku berjanji akan membawamu keluar dengan selamat,” Min-Ho berbisik. Ia mengusap setetes air mata yang keluar dari mata Hee-Ra.

Sekarang bagaimana? Mereka tidak mungkin diam saja dan pasrah. Bagaimana kalau orang-orang tadi menemukan keduanya? Min-Ho tidak mau membahayakan nyawa Hee-Ra.

Hanya ada satu cara, mereka keluar dan Min-Ho akan menjadi umpan sementara Hee-Ra menyelamatkan diri. Cuma itu yang bisa mereka lakukan kalau-kalau nantinya ketahuan.

“Shin Hee-Ra dengarkan aku,” Min-Ho kembali berbisik. Ia menggenggam erat telapak tangan Hee-Ra, “Kita akan keluar. Kalau nanti kita ketahuan, kau harus terus berlari dan aku yang akan menjadi umpan.”

Hee-Ra menggeleng, ia tidak mau membiarkan Min-Ho celaka demi dirinya. Mereka pergi bersama, itu artinya kalau Min-Ho dalam bahaya, Hee-Ra harus tetap bersamanya. “Aku tidak mau. Kau gila?” isaknya sedikit mengeras. “Kita harus keluar bersama-sama, aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu!”

“Shin Hee-Ra tenanglah,” ia menelan ludah kasar. “Sekarang kita keluar, kalau tetap di dalam akan banyak kemungkinan mereka menemukan kita.”

Hee-Ra menyerah, ia tidak ingin membuat keributan hanya karena tidak menyetujui ide gila Min-Ho. Keduanya berjalan mengendap keluar, melewati puluhan mayat yang tergeletak begitu saja di lantai. Mencium aroma anyir yang cukup membuat sakit kepala dan bergidik ngeri. Orang seperti apa yang tega membunuh mereka?

Sampai di ambang pintu keduanya masih aman. Baru selangkah berlalu dan tiba-tiba Min-Ho tersungkur ke lantai. Hee-Ra terkejut setengah mati dan berteriak tak karuan begitu menyadari lengan Min-Ho tertembak.

Sesosok pria bertopeng berlari ke arah mereka sambil mengangkat senapan. Sementara Hee-Ra berusaha membopong Min-Ho agar bangkit dan bisa berlari bersama.

“Kumohon, kau harus bangkit Choi Min-Ho!” serunya.

Min-Ho menggeleng, peluhnya berjatuhan menahan rasa sakit, “Tidak!” ia meringis kesakitan, darah yang keluar terlalu banyak, Min-Ho tidak bisa mehannya. “Kau harus pergi Shin Hee-Ra, kau harus selamat!”

Hee-Ra kebingungan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Meninggalkan Min-Ho sama saja dengan membunuh pria itu. Ia berniat tetap bersama Min-Ho, namun sekali lagi tembakan dilancarkan pada keduanya, di mana kali ini peluru menembus kaki kanan Min-Ho.

Hee-Ra berteriak ketakutan ketika Min-Ho mulai kehilangan kesadarannya. Ia bangkit sebisa mungkin dan hampir berlari. Namun terlanjur sebuah peluru mendekat ke arahnya, berjarak sepuluh centi dari kepala dan tiba-tiba ia kehilangan kesadaran. Tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati.

 

TO BE CONTINUED

24 pemikiran pada “Two Moons [Chapter 3]

  1. Aah, makin keren makin penasaran. Seperti biasa, kai jatuh cinta tapi terlalu gengsi. Yah, itu kenapa? Hee ra baik” aja kan? Kai ga nolongin hee ra? Duh kasian ya hee ra, bru aja selamat dr preman udah ada lagi masalah bru. Next chapter, fighting authornim..!

  2. haiii eoniii , aaaa suka dehh sama min ho heeraa tapi lebih suka kai heera ituuu siapaa lagi pria bertopeng yang nembak min ho aaa kasiann tauuu heeraa kenapaa eonnii? aaa pasti kai yang ada di kelompok yang pake topeng tapi kai nyelamatin heeraa aaaa kerenn semangatt eonii 🙂

  3. Ping balik: Two Moons [Chapter 3] by Heena Park | EXO FanFiction Indonesia

  4. hadehh deg deg an aku…
    hahhhhh
    seruuuu….. dan gimana nanti minho,???siapa jg orng yg nyeraang restoran??
    pasti ada yg nyelametin heera…kai kah???

    next yaa

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan