Two Moons [Chapter 2]


twomoon3

-Heena Park Present-

.

Starring: Shin Hee-Ra, EXO's Kai, EXO's Se-Hun, others.

.

FantasyRomanceAction//PG–15//Multichapter

.

PosterBySifixo@PosterChanel

.

Notes : ff ini sudah pernah aku share sebelumnya, dan kali ini aku mau me-remake ff tersebut.

.

.

TWO MOONS

©2016

.

Belajar dari kejadian kemarin, ayah Hee-Ra memperbolehkan putrinya untuk mengendarai mobil sendiri. Untuk hari pertama, Ma-Ri akan menjemput Hee-Ra dan menumpang sekalian menunjukkan arah selama perjalanan. Mereka juga berniat mampir ke cafe yang direkomendasikan oleh Jennifer dalam grup Line.

“Apa itu?” Hee-Ra meminta penjelasan, dari tadi Ma-Ri terus-terusan memandangi sobekan kertas yang ada di tangannya.

Tersenyum sebentar dan menggaruk kening, “Nomor ponsel Se-Hun, hehe.”

Hee-Ra mengerutkan kening. Otaknya berpikir apakah Ma-Ri memang sebegitu sukanya pada Se-Hun sampai-sampai meminta nomor dari orang lain.

“Tidak-tidak, aku tidak berniat menggodanya setelah mendapat nomor ini. Sungguh, aku hanya berusaha mengajaknya bergabung dalam teater kami untuk pertunjukan dua bulan lagi.”

“Oh, benarkah?”

Ma-Ri melengus, “Kau tidak percaya padaku?”

Hmm…kita tidak bisa percaya seratus persen pada siapapun,” jawabnya lalu mengalihkan pandangan ke depan. “Jadi kita akan lewat mana?”

Hee-Ra menyalakan mesin mobilnya dan mengikuti setiap petunjuk yang keluar dari mulut Ma-Ri sambil terus mengingat jalur mana yang harus ia lewati ketika berangkat. Mereka sengaja berangkat lebih awal agar Ma-Ri bisa memberitahu jalan-jalan tikus yang mungkin bisa dilewati oleh Hee-Ra saat sedang terburu-buru. Mereka juga sempat mampir ke beberapa halte bus dan melihat bus apa yang bisa digunakan Hee-Ra kalau-kalau tidak ada kendaraan di rumah.

Tentu saja Hee-Ra tidak bisa mengingat dengan baik, ia memilih untuk menulis dan memotret apa-apa yang penting. Dengan begitu arsipnya akan tersimpan aman.

Ketika keduanya tiba di kampus, Jennifer, Tae-Yong dan Min-Ho sudah menunggu di depan gerbang, sementara kelompok Kai berjalan dari arah Barat, membuat Hee-Ra memaku sebentar dan menatap mereka.

Ia menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali ketika Ma-Ri menyiku lengannya. Hee-Ra merasa apa yang dilakukannya salah, ia selalu tak bisa menahan diri untuk tidak menatap Kai dan kawan-kawannya.

Oh shit,” Hee-Ra menarik napasnya dalam-dalam. Shin Hee-Ra kuasai dirimu, jangan biarkan mereka membuatmu terjatuh dalam pesona tak wajar itu.

“Kau baik-baik saja?” Min-Ho memegang lengan Hee-Ra, khawatir kalau gadis yang berada di depannya tiba-tiba pingsan.

Tidak ada respon berlebihan dari Hee-Ra, ia hanya tersenyum dan mengangguk beberapa kali. “Aku ingin ke perpustakaan, aku harus meminjam beberapa buku untuk tugas,” gumamnya.

Awalnya Ma-Ri bersikeras untuk ikut Hee-Ra ke perpustakaan, tapi dengan halus Hee-Ra menolak. Gadis itu terlalu khawatir padanya. Ah, sebenarnya bukan hanya Ma-Ri, Tae-Yong, Min-Ho dan Jennifer-pun juga sempat menawarkan diri untuk menemani Hee-Ra.

“Aku serius, aku baik-baik saja,” Hee-Ra berusaha meyakinkan teman-temannya, “Aku akan segera kembali, aku hanya ingin meminjam beberapa buku, sungguh.”

Tidak ingin mendengar rayuan teman-temannya, Hee-Ra segera melambaikan tangan dan melangkah ke perpustakaan. Untungnya di sana tidak terlalu ramai, ia dengan cepat bisa menemukan buku yang dicari.

Sialnya, tangan Hee-Ra tak bisa meraih buku yang tersebut. Tempatnya berada pada rak yang lebih tinggi dari tubuhnya. Ah, Hee-Ra sangat malas memanggil pegawai perpustakaan, tapi ia juga tidak mungkin mengambil buku itu sendiri.

Sampai tubuhnya menegang ketika menyadari seorang pria berbadan tinggi-putih berdiri di sampingnya. Hee-Ra kehabisan kata-kata dan hanya bisa menatap pria itu kaku.

Menyadari perubahan sikap gadis di sampingnya, Se-Hun menarik salah satu ujung bibirnya dan mengambil buku yang diinginkan oleh Hee-Ra. Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya menyodorkan buku tersebut.

“Kau mau mengambil ini, kan?”

Salah tingkah, Hee-Ra hanya mampu mengerjap-kerjapkan matanya dan menelan ludah sekasar mungkin. Ia tidak tahu sejak kapan tenggorokannya sekering ini.

Seolah berjalan lambat, Hee-Ra menerima uluran buku dari Se-Hun dan berniat mengucapkan terima kasih, namun sepersekian detik kemudian seorang pria lain datang dari balik punggungnya.

Kai.

Ia berbisik pada Se-Hun dan memberikan tatapan tajam pada Hee-Ra. Jujur saja, ia tak tahu apa maksud Kai memberikan tatapan semengerikan itu padanya. Dingin memang, tapi memabukkan.

Hee-Ra merasa jantungnya berhenti berdetak saat Kai menatapnya intens. Ia segera memegangi dadanya setelah Kai dan Se-Hun beranjak pergi, tubuhnya serasa lemas, kedatangan Kai seolah menguras seluruh kekuatannya.

Aneh memang.

Selama beberapa saat Hee-Ra belum mendapatkan kesadarannya, ia terus memegangi dadanya sampai seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba.

“Shin Hee-Ra, kau tidak apa-apa? Kau sakit?”

Hee-Ra menepis lembut tangan gadis itu, “Aku tidak apa-apa,” jawabnya ramah.

“Kau memegangi dadamu, kenapa?”

Ma-Ri pasti khawatir, Hee-Ra berusaha memperbaiki ekspresinya agar terlihat normal kembali, “Tidak apa-apa, sungguh. Kau mau ke kelas-kan? Kita pergi sekarang.”

 

 

“Sial, kita terlambat,” Chan-Yeol tak bisa menahan umpatan keluar dari mulutnya. Ia memukul dinding dengan keras.

Sementara Su-Ho mengamati setiap detail bekas pecahan kaca jendela dari sebuah rumah kosong, ia memungut benda berkilauan yang kemungkinan ketinggalan.

“Serbuk emas?” Ia melihat satu persatu kawannya yang mulai mendekat.

D.O segera mengambil benda itu dari tangan Su-Ho dan ikut mengamatinya, “Benar, serbuk emas.”

“Tunggu dulu, apakah maksud kalian?”

“Ya,” D.O mengangguk. “Milik Tao. Ia selalu membawa serbuk emas kemanapun perginya, dan ini jelas-jelas serbuk dari planet kita.”

“Jadi mereka benar-benar ke sini,” Se-Hun menggigiti bibir bawahnya. “Mereka bukanlah musuh yang mudah, kita bahkan tidak mengetahui siapa mereka sebenarnya.”

Setuju pada pernyataan Se-Hun, Baek-Hyun menyarankan, “Lebih baik kita simpan serbuk emas ini, siapa tahu bisa berguna.”

“Kris dan yang lainnya akan pindah ke Seoul, kita pasti lebih kuat saat bersama.”

“Ide bagus,” Kai mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. “Apa kita masih harus melakukan sesuatu?”

Ke-lima pria tadi saling berpandangan, kemudian menggeleng pada Kai. “Baguslah, mengejar musuh sebenarnya membuatku cukup lapar.”

“Benar juga, aku belum makan dari siang,” Chan-Yeol melemparkan pandangan pada Su-Ho, membuat pria itu melengus.

“Berhentilah memberiku tatapan seperti itu,” Su-Ho berkacak pinggang. “Ah baiklah, aku akan menraktir kalian makan hari ini.”

 

 

“Kalian yakin tidak ikut?” Ma-Ri berusaha merayu ketiga temannya untuk ikut makan malam di cafe yang sempat direkomendasikan Jennifer tempo hari.

“Aku harus mengerjakan tugas, kau tahu dosenku terkenal galak-kan?” Tae-Yong bergidik ngeri. “Andai dia janda dan aku bisa menggodanya, pasti hidupku tidak—“

“Berhentilah bicara,” Jennifer menutup mulut Tae-Yong dengan jari telunjuknya, “kau membuatku merasa jijik.”

Hee-Ra terkikik, “Kalian selalu bertengkar. Pepatah mengatakan benci dan cinta berada dalam satu garis tipis.”

“Apa? Aku tidak membencinya,” Jennifer menggeleng. “Aku sangat-sangat-sangat membencinya.”

Mendecak beberapa kali, Tae-Yong menurunkan jari Jennifer dari mulutnya dan menggenggamnya, “Kau hanya belum bisa melihat pesonaku yang sangat mengagumkan, sayang.”

Bugh.

Min-Ho yang sudah tak tahan akhirnya memukul pelan pundak Tae-Yong, telinganya benar-benar gatal mendengar setiap rayuan yang keluar dari mulut sohibnya.

“Kurasa kita harus pergi ke kuil dan mendoakanmu,” Min-Ho menarik tas Tae-Yong sehingga mau tidak mau Tae-Yong ikut berjalan. Bukannya berhenti menggoda, Tae-Yong malah melambaikan tangannya dan sepersekian detik kemudian memberikan satu kecupan kiss bye pada ketiga teman gadisnya.

“Aku tidak mengerti apa yang dilihat gadis-gadis itu dari Tae-Yong,” Jennifer menggelengkan kepalanya.

“Aku juga,” Ma-Ri menyetujui.

Tidak berniat ikut-ikutan, Hee Ra mengangkat kunci mobilnya, “Jadi kau juga ikut-kan? Jennifer?”

Ia tak langsung menjawab, melainkan memasang ekspresi menyesal, “Maafkan aku. Aku ingin sekali untuk ikut, tapi aku sudah memiliki janji makan malam bersama mom dan dad, mereka sangat jarang berada di rumah.”

Memaklumi keadaan Jennifer, Hee-Ra dan Ma-Ri memutuskan untuk pergi berdua saja. Mereka mengikuti arah yang telah ditunjukan oleh Jennifer tadi siang. Tepat di perempatan, sebuah cafe bergaya Italia berdiri kokoh dipagari kayu sekelilingnya.

“Wah, aku baru tahu ada tempat seperti ini di dekat kampus.” Ma-Ri tak henti-hentinya melontarkan pujian akan indahnya arsitektur cafe yang sedang mereka singgahi.

Keduanya memilih untuk duduk di dekat jendela, Hee-Ra mengangkat tangannya sebagai tanda panggilan bagi pelayan.

“Kau mau pesan apa?” Ma-Ri membolak-balik buku menu.

Bruschetta dan orange juice,” Hee-Ra menutup buku menunya. “Ah ya, gelato.”

Ma-Ri mengangkat alisnya, “Kau serius? Bruschetta untuk makan malam? Baiklah, terserahmu. Kalau begitu aku mau spaghetti, orange juice dan gelato.”

Sang pelayan segera menulis pesanan mereka dan berkata agar menunggu sebentar. Sementara Hee-Ra sedang sibuk pada ponselnya, Ma-Ri tiba-tiba menyiku dan menajamkan mata.

Jackpot. Sepertinya dia memang jodohku.”

Hee-Ra yang tak mengerti akan maksud Ma-Ri mencoba menengok ke belakang, namun Ma-Ri cepat-cepat menahan kepalanya. “Kau bisa membuatku ketahuan kalau menengok ke belakang sekarang,” protes Ma-Ri.

Kenapa sih dia?

Ada apa?

“Berjanjilah untuk tidak terkejut atau menengok ke belakang jika aku mengatakannya.”

Hee-Ra mendesah berat, “Aku berjanji, ada apa?”

Ma-Ri melirik ke belekang Hee-Ra sebentar dan kembali menatap temannya itu, “Se-Hun dan kawan-kawannya berada di sini. Mereka duduk di ujung, di belakangmu.”

“Apa?” Hee-Ra terkejut setengah mati. Ia tanpa sadar langsung menengok dan membuat Ma-Ri hampir mengumpat. Namun Hee-Ra tak sanggup memalingkan wajahnya. Ia membiarkan kedua bola matanya bertemu dengan manik mata Kai yang saat itu juga sedang menatap ke arahnya.

Shit, Shin Hee-Ra cepat berbalik, kau—“

Hee-Ra tak lagi mendengarkan ucapan Ma-Ri. Jiwa dan raganya terlalu larut dalam bola mata Kai. Menyelam begitu dalam, berusaha mencari sesuatu yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.

Pun dengan Kai. Pria itu tak berniat kembali menatap lurus atau ikut berbincang dengan kawan-kawannya. Ia terus menatap balik mata Hee-Ra. Begitu dalam dan terkesan dingin, ia hanya berusaha menutupi kehangatan dirinya sendiri. Ia tidak ingin Hee-Ra mampu menebaknya hanya dengan sekali pandangan.

Sedangkan Hee-Ra terus memaki dirinya sendiri karena jatuh dalam pesona Kai. Ia menginginkan untuk berbalik dan kembali pada Ma-Ri, tapi matanya tidak. Ia tidak tahu sejak kapan tubuhnya menjadi sulit diatur seperti ini.

Untungnya keberuntungan masih sedikit berpihak padanya. Ma-Ri terpaksa menarik lengan Hee-Ra supaya gadis itu berbalik dan menatapnya.

“Serius, kau membuat kita hampir ketahuan!” Ma-Ri tak bisa menahan rasa malunya. Ia mengipas-ngipaskan telapak tangan di depan muka.

Kebingungan harus memberi respon bagaimana, untunglah pelayan cafe datang sambil membawa pesanan mereka. Untuk sejenak Ma-Ri melupakan rasa malunya dan lebih memilih segera menghabiskan makanan di depannya lalu pergi.

Nafsu makannya menghilang, ia hanya mengambil sepotong roti dan seperempat gelas orange juice. Hee-Ra bahkan memberikan gelato-nya pada Ma-Ri. Pikirannya kacau, nama Kai terus-terusan berputar dalam kepalanya. Ia merasa ada yang salah, ia mencoba memperbaiki, sayangnya Hee-Ra gagal.

Ma-Ri menawarkan untuk mengemudi ketika keduanya beranjak pergi. Tadi siang Ma-Ri ke rumah Hee-Ra diantar oleh sopirnya, maka dari itu Hee-Ra harus mengantarkan Ma-Ri pulang.

Hee-Ra setuju, ia membiarkan Ma-Ri bergelut di kursi kemudi. Pikirannya yang masih kacau selalu menolak apabila diajak menghapal jalur mana saja yang diambil untuk sampai ke rumah Ma-Ri.

Toh Hee-Ra masih bisa menggunakan Google Maps, jadi tidak masalah kalau ia tak memperhatikan jalan.

“Kau yakin pulang sendirian? Bagaimana kalau menginap semalam di rumahku?”

Terdengar nada khawatir keluar dari mulut Ma-Ri. Ia membuka pintu mobil dan menunggu Hee-Ra keluar.

“Aku tidak apa-apa, kau tahu-kan aku terbiasa tinggal di Amerika? Pulang malam sendirian bukanlah masalah bagiku,” Hee-Ra menunjukan barisan giginya. Ia menarik Ma-Ri keluar dari mobil dan berganti duduk di kursi pengemudi.

“Kirimi aku pesan kalau kau sudah sampai rumah, mengerti?”

“Yes, mom!” Hee-Ra mengedipkan sebelah matanya sekali, kemudian menutup pintu mobil dan mulai menyalakan mesin. Setelah Ma-Ri melambaikan tangan, Hee-Ra segera melajukan mobilnya, tentu saja ia mengendarai dengan bantuan GPS. Kalau tidak, ia takkan bisa pulang.

Hampir tiga puluh menit berlalu, Hee-Ra hanya bisa mengandalkan GPS dalam ponselnya. Ia yang notabennya tidak mengerti jalanan Seoul dengan baik rupanya harus mendapat kesialan berturut. Tiba-tiba saja mobilnya berhenti. Tidak masalah kalau berada di jalan yang lumayan ramai, sayangnya ia harus menghadapi kejadian seperti ini di sebuah jalan gelap dan sepi.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Ia menilik jam tangan, baru pukul sepuluh malam. Dan ayolah, kenapa di Seoul ada jalan yang sesepi ini? Atau jangan-jangan Hee-Ra tersesat? Tidak mungkin. Ia menggunakan Google Maps dan GPS-nya dengan benar.

Ugh, sialan. Siapa yang menebar paku di sini?

Hee-Ra hampir mengumpat dan menyumpahi siapapun yang melakukan hal keji padanya. Lihatlah, ke-empat ban mobilnya bocor karena melewati puluhan atau bahkan ratusan paku yang tersebar di jalan.

“Apa mereka sudah gila?” Hee-Ra menyibir, ia segera mengeluarkan ponsel dan berniat untuk menelepon ayahnya, siapa tahu bisa menjemput.

Namun, belum sempat Hee-Ra menekan kontak, sekumpulan pria muncul dari gang gelap yang berada tak jauh dari tempatnya. Sekumpulan pria itu menyunggingkan senyuman licik, dengan begini Hee-Ra bisa menebak kalau merekalah yang telah menyebarkan paku di tengah jalan.

Sebelum sekumpulan pria itu semakin dekat, Hee Ra segera masuk ke mobil. Tubuhnya bergetar tak karuan, terlebih lagi beberapa di antara pria itu telah mengerumuni mobilnya. Berkali-kali mengetuk jendela dan meminta agar Hee-Ra segera keluar.

“Ayolah sayang, buka pintumu dan kita bisa bersenang-senang. Bukankah para gadis menyukai satu lawan banyak?” Pria itu tertawa terbahak-bahak. Kepalanya botak, terdapat tindik di bawah bibirnya.

Sementara pria yang lain berusaha mencari kayu atau apapun itu agar bisa memecah kaca mobil Hee-Ra.

“Buka pintunya sayang, kami tak akan melukaimu…terlalu keras hahahahaha.”

Hee-Ra meringkuk, ia tak bisa berpikir jernih. Otaknya memerintah untuk menelepon polisi, tapi jarinya kaku dan entah kenapa tak bisa mengingat berapa nomor yang harus dihubunginya.

Matanya menangkap secarik kertas, ia segera meraih kertas tersebut, menulis nomor yang tertera di sana tanpa perduli siapa yang sedang dihubunginya.

Tangisannya tak bisa dibendung lagi, ia tidak ingin berakhir mengenaskan atau muncul dalam headline berita, ‘Seorang gadis mati diperkosa sekumpulan pria’. Tidak, Hee-Ra tidak mau.

Begitu tersambung dengan lawan bicara, Hee-Ra segera mengucapkan tujuannya. Walaupun terpatah-patah dan bercampur isak tangis, Hee-Ra benar-benar sudah berusaha.

“Tolong aku, kumohon!”

 

 

Kai ternganga, takjub akan kekuatan D.O yang bisa memunculkan batu dari dalam tanah. Jangankan hal kecil, D.O bahkan bisa membelah bumi menjadi dua kalau mau.

“Kau terus saja menonton, kenapa kau tidak berdiri dan melatih kekuatanmu?” tanya D.O yang mulai risih karena sedaritadi terus diperhatikan Kai.

“Kenapa harus berdiri?” Kai menyeringai, beberapa detik kemudian tubuhnya berubah menjadi asap dan menghilang. “Toh aku bisa menggunakan kekuatanku kapanpun,” tiba-tiba ia muncul di atas batu yang barusan di keluarkan oleh D.O

“Wah, kau pasti sangat senang punya kekuatan seperti itu. Bisa menghilang kapan saja dan di mana saja, termasuk di kamar mandi wanita,” komentar Se-Hun dari ambang pintu.

Kai tertawa, “Kau mau mengambil kunci motormu?”

“Yap, kau sudah seharian menggunakannya-kan? Jadi kembalikan sekarang.”

“Bukankah besok giliran Chan-Yeol, kenapa aku harus memberikannya padamu?” Kai menimpali, ia bangkit dan mendekati Se-Hun.

“Berhentilah protes dan cepat berikan padaku. Aku hanya ingin memastikan motorku baik-baik saja.”

“Kau benar-benar posesif,” Kai mendecakkan lidahnya. “Tunggulah, aku akan mengambilnya.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Kai buru-buru ke kamar dan mengambil kunci motor Se-Hun. Sebenarnya ia berniat sedikit mengerjai pria itu dengan berkata bahwa kuncinya hilang, namun batal karena Kai ingin segera tidur.

“Aku tidak merusak motor kesayanganmu,” Kai memberikan kuncinya pada Se-Hun. “Cuma sedikit tergores di bagian belakang,” ia tersenyum menunjukan barisan gigi rapinya.

“Kau serius?” Se-Hun melotot, “Oh shit!”

Melihat Se-Hun berlari ke garasi penuh emosi dan kekhawatiran yang tinggi membuat Kai terbahak sampai perutnya sakit. Berhasil, setidaknya Kai bisa mengerjai Se-Hun walau hanya seperti ini.

Sebenarnya tidak ada goresan sedikitpun di motor Se-Hun.

Kring..

Suara ponsel?

Kai menyipitkan mata, ia menelusuri suara ponsel siapakah yang barusan didengarnya. Rasa penasarannya makin memuncak begitu mengetahui ponsel Se-Hun lah yang berbunyi, terlebih, nomor yang memanggilnya tidak tersimpan di sana. Apakah Se-Hun memberikan nomornya pada orang lain?

Butuh beberapa detik sebelum Kai memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Ia menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya tanpa mengucapkan apapun.

“Tolong aku, kumohon!”

Dahinya mengerut, apa telinganya tak salah dengar?

“Tuan, nyonya atau siapapun anda! Kumohon tolong aku!”

“Siapa kau? Darimana kau mendapatkan nomor ini?”

Orang yang menghubungi Se-Hun tidak menggubris pertanyaan Kai, “Kumohon!

Ah, kalau sudah seperti ini tidak ada yang bisa dilakukan Kai selain membantu, “Kau di mana?”

Gadis itu meracau, isak tangisnya semakin keras dan membuat suaranya putus-putus, “Aku tidak tahu! Yang aku tahu hanya mobilku terkena paku dan—“

“Tunggu aku di sana.”

 

 

“Aku tidak tahu! Yang aku tahu hanya mobilku terkena paku dan—“

“Tunggu aku di sana.”

Hee-Ra terperangah, ia memandangi ponselnya kesal dan kembali metelakkan di dekat telinga, “Halo, halo?”

Tidak ada jawaban, panggilannya telah terputus. Lalu sekarang bagaimana? Mungkinkah Hee-Ra harus merelakan diri keluar dalam headline berita besok pagi?

Sementara sekumpulan pria di luar sudah berhasil mendapat tongkat besi dan bersiap untuk memecahkan kaca mobil Hee-Ra. Tidak ada pilihan lain kecuali pasrah, Hee-Ra menutup kedua matanya dengan lengan dan meringkuk di dekat stir mobil.

Dalam hati tak henti-hentinya berdoa, ia sempat berpikir untuk meninggalkan wasiat, tapi sepertinya percuma saja, toh ponselnya pasti akan diambil oleh pria-pria jahat  itu. Lalu bagaimana caranya Hee-Ra bisa meninggalkan wasiat?

Beberapa detik kemudian, terdengar suara ‘buk’ berkali-kali. Bukan hanya itu, Hee-Ra juga mendengar teriakan dan sesuatu membentur pintu mobilnya. Ia tidak perduli pada apa yang sedang terjadi, perasaan takut yang menggerayangi sudah cukup membuat Hee-Ra tak mampu menarik lengan dan membuka kedua matanya.

“Buka pintunya!”

Kali ini berbeda, hanya satu orang yang mengetuk-ngetuk pintu mobil Hee-Ra.

Napasnya masih menggebu, perlahan Hee-Ra mengangkat wajah dan mendapati sosok familiar seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari belakangan ini.

Kai.

Ia menatap Hee-Ra khawatir, sekali lagi mengetuk pintu dan menyuruh agar Hee-Ra segera membukanya, “Cepat buka!”

Hee-Ra mengangguk kaku, ia menekan tombol kunci pada pintu mobil, membiarkan Kai yang membuka dan menarik Hee-Ra untuk berdiri di depannya. Mengerti kalau tubuh Hee-Ra masih bergetar penuh ketakutan, Kai segera menumpu badan gadis itu dengan lengannya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya.

Hee-Ra tak mampu menjawab, ia hanya mengangguk sekali.

“Syukurlah.” Kai membuang napas lega. Ia menyandarkan tubuh Hee-Ra pada badan mobil, kemudian memasukkan kepalanya dan mengambil kunci mobil Hee-Ra, lalu menutup kembali pintunya.

“Aku akan mengantarmu pulang, kita tinggalkan mobilmu di sini.”

Hee-Ra tak kuasa menolak. Dalam otaknya menyetujui usulan Kai, ia yakin pulang bersamanya pasti lebih aman. Dengan begitu, Kai segera menelepon perusahaan taksi dan meminta agar salah satu driver-nya menjemput mereka.

Sepertinya doktrin akan sikap Kai yang sangat dingin berubah drastis, mendapati bagaimana ekspresi khawatir Kai tadi cukup membuat Hee-Ra memberikan kesimpulan baru.

Kai adalah orang yang baik. Dia tidak dingin, mungkin ia hanya berbicara pada orang yang telah dikenalnya.

 

TO BE CONTINUED

35 pemikiran pada “Two Moons [Chapter 2]

  1. Ping balik: Two Moons [Chapter 2] by Heena Park – EXO FanFiction Indonesia

  2. Kyaaa… Kereeeeennnn…!!! AKU SUKA BANGEEETTT *kaganyante aku seperti mencium aroma cinta segitiga setelah chapter ini. *sokTAU next next next.. I’m waiting for the next.. Fighting…

  3. haloo.. reader baru.. maaf ya baru coment di chapter 2, sukaaaa sama ff ini, kerenn
    gk tau mau coment gimana lagi
    pokoknya semangat terus lanjutin ffnya
    aku tunggu next chapternya yaa..

  4. Oh oh ya ampun kebayang deh ekspresi khawatir kai :’V ah memabukan kkkk~ . d tunggu kelanjutannya jgn lama” yah ka 😀 btw forbidden love kpn d lanjut ka?

  5. Maaf ya thor baru komen di chap ini. Karna harus baca dari prolognya. Ceritanya seru. Apalagi kai benar2 keren disini. Ditunggu chap selanjutnya thor ^^

  6. omigot kerennn…sampe gk napas bacanya…hahaha
    kai kerennn…kirain sehun yg bakal nyelametin…ternyata kai sendiri…kalo aku jadi haera jg plng kaya gitu…udah dikepung cuma bisa diem tutp mata berdoa dan pasrah..cewek mah bisa apa?!
    nglntur nih omongan..

    next aja..

  7. Kaget udah part2 lagi ajaa. Kebayang dah jadi hee ra udah ga kuat ngapa ngapain lagi eh yang nolongin si pangeran pujaan hati. Double lemesnya. Semangaaat lanjutin ceritanya, author-nim!!! ❤

  8. Wahh keren kak , Suka bangett sama kai , Pasti seru deh lanjutanya .. Gak sabar pengen liat kai romatis”an heera … 🙂 🙂 😉

  9. Ping balik: Two Moons [Chapter 3] by Heena Park | EXO FanFiction Indonesia

Tinggalkan Balasan ke buokcha Batalkan balasan