A Pain To Remember


Coffee_and_cigarettes_by_Kukuruki

 

 

 

A Pain To Remember

By

Heena Park

SadRomanceLongshot PG

Starring by

Shin Hee RaKim Jong In {Alexander Kim}Oh Se Hun

 

Semuanya baik-baik saja, sebelum ia pergi lalu tiba-tiba kembali.

 

 

 

Sudah terlalu siang untuk menyebut saat ini pagi. Tapi yah, bagi Shin Hee Ra, gadis yang sedang menghimpit ponselnya diantara telinga kiri dan pundaknya sambil mengoleskan selai blueberry ke seluruh permukaan roti tawar adalah hal yang wajar. Dalam kamus liburannya, pagi hari dimulai pukul sebelas siang, dan itulah alasan kenapa disaat sekarang ini ia masih mengenakan jubah mandi bewarna tosca dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri.

“Aku akan berangkat siang ini bersama Se Hun, kau sudah siapkan daftar tempatnya bukan? Jarang-jarang kami bisa berlibur bersama.” Ia menggigit kecil roti tawar dan mengunyahnya dengan cepat lalu buru-buru menelannya. “Hmm..dia akan syuting di sana dan kebetulan aku juga sedang libur, jadi kami memutuskan untuk pergi bersama-sama..ah, sudah dulu ya, sepertinya Se Hun sudah datang.”

Gadis itu memutus panggilannya dan berjalan ke pintu. Sesaat setelah membuka daun pintu, seorang pria tinggi-putih dengan kaos abu-abu dan celana jeans memeluknya erat. Hee Ra tanpa sungkan membalas pelukkan pria itu. Sudah lama sekali tidak memeluknya erat seperti ini, ia merindukan Oh Se Hun.

“Maafkan aku, apa aku terlambat?” Se Hun melonggarkan pelukannya.

Hee Ra terkekeh pelan dan menunjuk jam dinding, “Kau bahkan datang satu jam lebih cepat. Nah, lihat ini, aku baru selesai packing dan mandi lalu berniat untuk sarapan. Kau sudah sarapan?”

“Sepertinya begitu,” Se Hun mengangkat kedua pundaknya bersamaan.

Ia tahu bahwa kekasihnya adalah orang yang sibuk. Profesinya sebagai cheff sekaligus pemandu dalam salah satu acara masak-memasak yang akhir-akhir ini sedang banyak digemari oleh kalangan remaja sampai ibu-ibu di Korea Selatan membuat Se Hun harus rela meninggalkan Hee Ra untuk beberapa waktu. Tentu saja itu bukanlah hal yang sulit bagi Hee Ra, ia tidak akan menghalang-halangi kelancaran karir kekasihnya bukan?

Mendengar Se Hun menjawab seperti tadi membuat Hee Ra melengus dan menarik lengan pria itu ke depan meja makan lalu membuatkan sebuah roti selai blueberry dan segelas susu putih.

“Lihat ini, seorang cheff muda berbakat dan sangat terkenal malah lupa untuk sarapan. Apa kau tidak pernah diajari untuk membuat roti selai?” Hee Ra mencibir.

Se Hun tertawa kecil dan menerima roti dari Hee Ra kemudian memakannya pelan. Tidak buruk. Ia suka apapun yang dibuat oleh gadis itu, walaupun hanya sebatas roti selai dan segelas susu, karena sesungguhnya Hee Ra bukanlah tipe gadis berkeahlian memasak. Ia sangat bersyukur karena berprofesi sebagai cheff sehingga ia tidak perlu khawatir jika nantinya menikah dengan gadis ini.

“Bagaimana jika aku menjawab kalau aku tidak pernah berniat mempelajari cara membuat roti selai agar kau selalu membuatkannya untukku? Setiap hari, ketika sarapan.”

“Hah.” Apakah pria ini belajar ribuan rayuan gombal dulu? Jadi dia cheff atau seorang perayu? Hee Ra menggelengkan kepalanya, “Baiklah Oh Se Hun, aku akan mengirimkan roti selai setiap hari padamu mulai sekarang. Tentu saja melalui foto jika kita sedang berjauhan.” Ia menyelesaikan kalimatnya dan hendak berjalan pergi. Namun tiba-tiba Se Hun bangkit dan meraih lengan gadis itu kemudian menghimpit tubuh Hee Ra diantara meja makan dan badannya.

“Kau tidak perlu repot-repot mengirim foto,” Se Hun berhenti sebentar dan menaikkan dagu Hee Ra dengan tangan kanannya. “Menikahlah denganku Shin Hee Ra dan aku akan membawamu kemanapun aku pergi. Kau maukan?”

Raut wajah Hee Ra berubah tegang ketika melihat tatapan tajam dan serius yang begitu terpancar dari wajah Se Hun saat pria itu meminta Hee Ra menikahinya. Tapi bukan ini yang Hee Ra mau. Tidak, bukannya Hee Ra tidak mencintai Se Hun, hanya saja untuk menikah, ia belum memiliki pikiran kesana. Ia hanya takut trauma masa lalunya kembali. Ia tidak ingin terpuruk lagi.

Mencoba untuk mengalihkan perhatian Se Hun, Hee Ra mendorong pria itu sedikit menjauh darinya, “Baiklah, menikahnya kapan-kapan saja, sekarang aku harus ganti baju karena kita akan pergi ke Bali dalam satu setengah jam lagi.”

Ia tersenyum pahit, mengerti bahwa Hee Ra berusaha mengalihkan perhatiannya. Mungkin ini terlalu cepat, tapi Se Hun benar-benar tidak ingin kehilangan Hee Ra. Ia sudah memperjuangkan gadis itu dengan susah payah, dan ia tidak ingin perjuangannya berakhir sia-sia.

Setelah melangkah beberapa kaki dari Se Hun, dengan senyum khasnya Hee Ra berhenti dan memutar setengah badannya. “Kau tidak keberatankan kalau aku memintamu memasukkan koperku ke dalam bagasi mobil?” Pintanya sambil mengedip-kedipkan kedua matanya manja.

Sungguh, Se Hun tidak bisa berkutik jika kekasihnya sudah bersikap seperti itu. Ia dengan ringannya mengangguk dan mengerjakan apa yang diminta oleh Hee Ra sementara gadis itu berganti pakaian.

 

 

Bali, Indonesia

 

Mereka tiba ketika malam mulai larut. Sudah pukul sembilan malam. Se Hun membantu Hee Ra dengan membawakan koper kekasihnya. Sebenarnya Hee Ra menolak Se Hun melakukan itu, tapi pria itu tetap memaksa dan akhirnya Hee Ra menyerah. Ia tahu jika Se Hun tidak ingin dirinya kelelahan, tapi bagaimana dengan Se Hun sendiri? Kenapa ia membiarkan tubuhnya kelelahan? Bahkan disaat Hee Ra sanggup untuk sekedar menarik koper tersebut.

Setibanya di depan Bandara, sudah banyak fans Se Hun yang menunggu lengkap dengan atribut idolanya. Baiklah, Hee Ra tidak menyangka jika kekasihnya terkenal bahkan sampai keluar Korea. Untuk pengamanan, beberapa bodyguard telah disiapkan oleh perusahaan yang bekerja sama dengan acara masak-memasak Se Hun pun membantu keduanya menerobos kerumunan fans dan masuk ke minibus mewah keluaran Mercedes Benz.

Tidak membutuhkan waktu lama, minibus itu berhenti di depan sebuah tempat bernama The Lazzue’ Diamond—Villa dan Resort yang mewah nan menawan, namun memiliki halaman asri dan bisa dibilang merupakan salah satu Villa terbaik yang pernah dilihat oleh Hee Ra.

Begitu keluar dari minibus, beberapa pelayan langsung menghampiri keduanya dan mengambil alih koper serta mengalungkan bunga di leher Se Hun dan Hee Ra sebagai ucapan selamat datang. Kemudian mereka diberi dua cangkir kecil cokelat hangat untuk mengurangi rasa dingin yang menggerayangi tubuhnya. Sebuah sambutan yang sangat menarik.

Welcome Mr. Oh dan Miss. Shin, senang akhirnya bisa bertemu dan bekerja sama dengan anda.” Seorang pria ber-setelan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi menyambut keduanya menggunakan bahasa Inggris. Nampaknya ia adalah Manager hotel ini—Sepertinya, namun entahlah.

Se Hun menerima uluran tangan pria itu dan meremasnya sebentar dan dilanjutkan oleh Hee Ra.

Nice to meet you too, penginapan yang hebat. Suatu kehormatan bagi kami karena bisa bekerja sama dengan anda.” Kali ini Se Hun menimpali, sama-sama menggunakan bahasa Inggris.

“Suatu perjalanan yang melelahkan pasti dari Korea ke Indonesia, mari saya antar ke Villa anda dan kru lainnya, pelayan kami sudah menyiapkan air panas dengan lavender untuk berendam sebagai penghilang lelah….”

Setelah kata ‘lelah’ Hee Ra sudah tidak terlalu fokus pada apa yang diucapkan oleh pria berwajah asia tersebut. Pandangannya mengarah ke beberapa foto dan lukisan yang ditempel di lobi. Seperti pernah melihatnya sebelum hari ini, rasanya tidak asing, entah, ia sendiri juga tidak tahu bagaimana perasaan itu muncul. Tapi yang pasti Hee Ra tidak salah, ia sangat yakin bahwa beberapa foto dan lukisan itu pernah terekam dalam memorinya.

 

 

You look so beautiful Mrs. Oh.” Pujian Se Hun langsung menyambar ketika Hee Ra keluar dari villa-nya mengenakan dress pantai sepanjang lutut bewarna kuning dengan corak bunga krisan disekelilingnya.

“Haha, thanks you,” Kali ini tangannya masuk ke celah diantara lengan Se Hun dan mencengkeramnya ringan. “Dan baiklah, jadi kita sudah menikah sekarang?” Candanya menanggapi ucapan Se Hun barusan.

Wow, jadi kau mau menikah denganku? Bagaimana kalau kit—“

“Permisi Mr. Oh.”

Se Hun menghentikan kalimatnya, ia berbalik dan mendapati seorang pelayan wanita berada tepat di belakangnya.

“Ah, ya?”

Sorry, tapi Mr. Alexander telah menunggu anda di Restaurant untuk makan pagi.”

Se Hun mengangguk, ia mengerti jika orang bernama Alexander tersebut pasti ingin membicarakan tentang syuting-nya di tempat ini. Ya, sebenarnya tempat ini menjadi salah satu sponsor bagi acara Se Hun sehingga ia harus syuting di sini untuk mempromosikan balik tempat ini. Tapi tidak masalah, karena tempat ini juga akhirnya ia bisa berlibur dengan kekasihnya.

Awalnya mereka nampak mesra sepanjang perjalanan menuju Restaurant, namun begitu sampai di depan pria berkemeja putih polos tanpa dasi yang sedang duduk sambil berpangku tangan, terjadi perubahan pada Hee Ra. Gadis itu tiba-tiba saja berhenti dan terkejut.

Bagaimana mungkin bisa seperti ini?

Salah satu bagian dari masa lalunya sedang duduk di meja yang akan ia hampiri.

Orang yang membuatnya merasa bodoh, lemah, dan putus asa itu kini berada di hadapannya lagi.

Orang yang membuatnya berhenti mempercayai lelaki dan memutuskan untuk tidak mempercayai setiap ucapan pria beberapa tahun lalu itu, kini benar-benar ada di hadapannya.

Orang yang tega meninggalkannya untuk wanita yang bahkan tidak jauh lebih baik darinya.

Orang yang membuatnya berubah menjadi seperti ini.

Orang yang sangat ia benci sepanjang hidupnya.

Dan yang paling menyedihkan adalah, pria itu menjadi satu-satunya lelaki yang ia cintai selama hidup setelah ayahnya.

Tepat ketika mereka benar-benar berdiri di depan pria itu. Hee Ra mencengkeram erat lengan Se Hun. Bibirnya gemetar, ia takut jika bayangan masa lalu yang sudah terlewatkan itu kembali. Ia takut jika pria itu kembali menyisakan luka dalam hatinya. Ia takut jika pada akhirnya hatinya kembali jatuh dalam genggaman pria itu dan meninggalkan Se Hun.

Ia takut.

“Mr. Alexander Kim?”

 

 

Pertengahan Musim Semi Enam Tahun Silam.

Seoul, Korea Selatan.

 

Masih terlalu awal bagi Hee Ra dan Jong In untuk memutuskan menjalin hubungan. Mereka baru saja bertemu beberapa Minggu lalu, tepatnya saat festival Musim Semi di Jinhae. Ketika keduanya berjalan di atas jembatan dengan Bunga Sakura di sekelilingnya, dua hati tak bertuan itupun saling berpandangan dan menarik satu sama lain.

Sedangkan hari ini, pria yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu sudah berdiri di depan gerbang sekolahnya sambil membawa sebuah banner bertuliskan ‘Be Mine, Shin Hee Ra’ tanpa rasa ragu atau malu sedikitpun.

Pria itu bahkan tidak bergerak ketika satpam sekolah mengusirnya karena perbuatannya mengganggu proses kegiatan belajar – mengajar. Terlebih lagi saat itu Hee Ra sedang berada dalam kelas dan berjuang untuk segera menyelesaikan soal Ulangan Harian dengan pikiran kalut, takut jika terjadi sesuatu pada Jong In.

Apa pria itu bodoh? Kenapa ia melakukan hal seperti ini saat jam pelajaran? Lagipula ia bukan murid di sekolah Hee Ra.

Kelakuannya yang memang terkenal nyeleneh dan sering dijuluki Bad Boy oleh siswa yang mengenalnya membuat Jong In tidak terlalu perduli pada perkataan orang akan perbuatannya sekarang, karena yang ia butuhkan adalah jawaban Hee Ra.

 

‘Be Mine or I Will Be A Bad Boy Forever.’

 

 

 

“Sudah lama sekali ya.”

Hee Ra memutar kepalanya, berhenti memandang Se Hun yang tengah syuting acara masak-memasaknya di pantai belakang Villa. Tangannya masih saling menyilang ketika Jong In berdiri tepat di sampingnya. Pria itu menengok ke arahnya dan tersenyum hangat, sama seperti apa yang ia lakukan dulu.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu disaat seperti ini,” Jong In melanjutkan ucapannya, namun kali ini ia menunjuk Se Hun dengan dagunya, “dan yang lebih mengejutkan adalah kau telah menjadi milik pria lain.”

Tidak ada balasan dari Hee Ra. Berkali-kali menggigiti bibir bawahnya dan berusaha menahan diri agar tidak menangis—mencoba bertahan untuk tidak melingkarkan lengannya di leher pria itu. Ia bisa mengatasinya lima tahun belakangan ini, dan ia yakin saat ini juga tidak ada bedanya.

Jong In semakin memperdekat jarak antara tubuhnya dengan Hee Ra, berusaha semulus mungkin agar tidak ada seorangpun yang curiga. Terlebih lagi Se Hun yang berkali-kali ketahuan melirik ke arah mereka.

“Aku tahu kau merindukanku Shin Hee Ra. Datang dan temui aku nanti malam di atas jembatan kecil yang berada di atas kolam ikan tidak jauh dari lapangan tenis. Aku akan memelukmu. Aku berjanji.”

Cih!

Apa-apaan pria ini? Dia dengan percaya diri mengatakan bahwa Hee Ra merindukannya. Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Tanpa ada nada menyesal sedikitpun. Apa dia benar-benar berhati batu? Sangat tidak bisa dipercaya.

“Aku tahu kau pasti sangat merindukanku, setiap sentuhan dariku, aku ta—“

“Aku bahkan tidak mengenal pria bernama Alexander Kim.” Bagus. Ia akhirnya berhasil mengeluarkan suara. Lanjutkan Shin Hee Ra, jangan biarkan Jong In menguasaimu. “Apa kita pernah berkenalan sebelumnya? Apa aku pernah mengenal Alexander Kim? Siapa dia? Apa dia penting bagiku? Aku tidak mungkin melupakan orang yang penting dalam hidupku bukan?”

Kuasai dirimu Shin Hee Ra, jangan biarkan emosi yang menyulut membuatmu tidak terkontrol. Sekarang pergilah, buat jarak sejauh mungkin dengan Jong In.

Hee Ra mendecakkan lidah, memakai kembali sandal yang sempat dilepaskannya di pasir dan mulai melangkah menjauhi Jong In sebelum pria itu kembali membangunkan ingatan masa lalunya.

“Shin Hee Ra.”

Tidak. Jangan memanggilnya. Hee Ra tidak ingin berhenti. Ia tidak ingin luluh dan kembali dibodohi untuk yang kesekian-dan kesekian kalinya.

“Berhenti.”

Tidak. Ia tidak boleh mendengarkan perintah Jong In.

“Aku bilang berhenti, Shin Hee Ra!”

Sialan!

Tamat sudah riwayatnya.

Lagi-lagi pria itu mengeluarkan kalimat yang membuat ingatan pahitnya kembali mengambang ke permukaan. Lagi-lagi pria itu berhasil membuatnya lemah. Lagi-lagi pria itu berhasil menjatuhkan hatinya.

Gadis itu menyerah. Ia terpaku di tempat, berusaha agar tidak menengok dan melihat ekspresi Jong In. Mencoba mengatur emosi dan raut wajahnya agar tidak terlihat berkaca-kaca. Ia tidak boleh kalah sekarang, ia tidak boleh menangis di tempat ini.

Hee Ra bisa merasakan derup langkah Jong In yang sedang berjalan ke arahnya. Tidak terlalu cepat, atau mungkin sangat pelan. Pria itu melangkah sedemikian rupa dan kembali menghantarkan Hee Ra pada kesedihannya.

“Jika kau tidak mengenal Alexander Kim, maka aku yakin kau mengenal Kim Jong In. Orang yang sangat kau cintai, bahkan melebihi dirimu sendiri.”

 

 

Akhir Musim Semi Enam Tahun Silam.

Seoul, Korea Selatan.

 

Hubungan Hee Ra dan Jong In muda berjalan lancar. Romantis, saling mengerti, tidak ada rasa cemburu, dan selalu berusaha menjaga satu sama lain.

Hari ini, kira-kira seminggu sebelum musim semi berakhir. Keduanya berbaring di taman bunga yang jauh dari kota. Cherry Blossom dan Azalea bewarna pink bermekaran menghantarkan aroma wangi dan kesan romantis di sekelilingnya.

Ia suka memandang wajah Jong In yang kalem dalam pangkuannya. Pria itu memejamkan matanya dan membiarkan Hee Ra memainkan rambutnya. Ini adalah kencan paling indah dalam hidupnya. Tempat yang sepi, hanya ada mereka berdua, bunga bermekaran, suasana damai, dan orang yang dicintai ada disampingnya.

“Shin Hee Ra..”

Hee Ra menaikkan alisnya, “Hmm?”

Tanpa membuka matanya sedikitpun, Jong In meraih tangan Hee Ra dan meremas punggung tangan gadis itu, “Menikahlah denganku, kau mau kan?”

Hee Ra tertawa senang. Ia tidak menyangka di usia se-belia ini, yang bahkan mereka masih sama-sama mengenakan seragam SMA, Jong In bisa menanyakan hal seperti itu. Jujur, Hee Ra sangat-sangat-sangat bahagia dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia mau menikah dengan Jong In, bahkan jika saat ini pria itu mengajaknya menikah, ia pasti berkata ‘iya’.

“Jong In…” Hee Ra mendorong Jong In agar pria itu bangkit untuk duduk berhadapan dengannya. Entah apa yang sedang merasukinya sekarang, tapi kedua lengan Hee Ra telah berusaha menarik leher Jong In agar pria itu mendekatkan wajahnya pada Hee Ra. “Aku mau. Aku hanya akan menikah denganmu, Kim Jong In.”

Selesai mengucapkan kalimat itu, Hee Ra memejamkan matanya, membiarkan Jong In semakin mendekat dan mendekat, hingga akhirnya kedua ujung bibir mereka bertemu dan saling menempel satu sama lain, yang semakin diperdalam dengan lumatan-lumatan serta desahan manis dari bibir Hee Ra.

 

 

“Lain kali berhati-hatilah. Kau bisa mencelakai dirimu sendiri.” Se Hun mengeluarkan uneg-unegnya pada Hee Ra setelah apa yang terjadi pada gadis itu. Ia tidak sengaja tersandung batang pohon kelapa di pantai dan kakinya terkilir.

“Maafkan aku. Aku terlalu ceroboh..”

Tidak. Se Hun tidak sepenuhnya menyalahkan Hee Ra, bukan begitu. “Apa kau memiliki masalah?” Telapak tangan kanannya yang semula memijit lembut kaki Hee Ra, kini bergerak untuk membelai ujung kepala gadis itu sebagai bentuk rasa perhatian. “Ceritakanlah padaku, kita sedang berlibur bukan? Aku tidak ingin kau memiliki beban.”

Melihat setiap kasih sayang yang diberikan Se Hun padanya membuat Hee Ra tidak sanggup menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Jong In, masa lalu mereka, kesedihan, dan pertemuan yang tidak disangka ini. Ia tidak ingin membuat Se Hun sedih, terlebih lagi tujuan mereka kemari adalah untuk kerja sekaligus berlibur.

“Aku tidak apa-apa, aku hanya sedikit kelelahan.” Hee Ra memindahkan kakinya dari paha Se Hun ke atas kasur, “Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kau tidak keberatan-kan kalau tidak aku temani?” Suaranya lebih pelan, takut menyakiti perasaan Se Hun.

Tapi Se Hun malah tersenyum dan mengacak-acak pelan rambut Hee Ra, “Tentu saja, tidak masalah. Sepertinya kekasihku ini memang membutuhkan istirahat. Lihatlah lingkaran hitam di bawah matamu, tidurlah. Aku akan menyelesaikan syuting dahulu, nanti saat makan malam aku akan menjemputmu di sini.”

Tanpa basa-basi Se Hun bangkit dan memberi sebuah kecupan hangat tepat di kening Hee Ra lalu berjalan keluar villa dan membiarkan gadis itu beristirahat. Semoga saja keadaannya bisa lebih baik.

Dan ya, sebenarnya Hee Ra tidak membutuhkan istirahat. Ia sendiri juga tidak tahu persis bagaimana kejadian tadi berlangsung karena yang ada dalam pikirannya hanyalah berusaha menjauh dari Jong In dan semuanya berjalan begitu cepat, ia tersandung, terkejut, lalu terjatuh dan kakinya terkilir.

Namun bukan itu yang membuatnya merasa sedih, melainkan karena Jong In-lah yang paling pertama menghampiri dan menggendongnya. Pria itu nampak khawatir, matanya menyiratkan perhatian yang begitu mendalam, ia bersikap seolah-olah ingin melindungi Hee Ra. Tidak perduli dengan penolakkan yang dilakukan Hee Ra ketika Jong In mencoba untuk menggendongnya, pria itu tetap melakukannya, dan dengan kedua tangannya, ia berhasil membawa Hee Ra kepada Se Hun.

Tunggu dulu, sebenarnya Jong In tidak berniat memberikan Hee Ra pada Se Hun. Pria itulah yang menghampiri mereka dan berkata jika lebih baik dirinyalah yang menggendong dan mengobati Hee Ra, bukannya Jong In.

“Agh!” Hee Ra mengacak-acak rambutnya frustasi. “Seharusnya aku tidak pernah ke sini, seharusnya kami tidak bertemu lagi, seharusnya tidak seperti ini.”

 

 

Pertengahan Musim Panas Lima Tahun Silam.

Seoul, Korea Selatan.

 

Setahun berlalu sejak mereka menjadi sepasang kekasih. Perlahan-lahan perubahan sikap Jong In semakin menjadi-jadi.

Ia yang awalanya selalu bersikap manis dan penuh perhatian lama-kelamaan menjadi semakin kasar. Ia yang sebelumnya selalu memberi kabar, kini sudah sangat jarang, bahkan mereka hanya saling mengirim kabar beberapa kali dalam seminggu. Tidak ada pertemuan, tidak ada kencan, dan tidak ada ucapan sayang.

Bukan hanya itu, Jong In bahkan jarang terlihat di sekolahnya. Sesekali Hee Ra mencoba mencari pria itu di sana, namun nihil, selalu saja ia mendapatkan jawaban yang sama.

‘Jong In sudah pulang sejak tadi.’

‘Sepertinya Jong In tidak hadir hari ini.’

‘Apa? Jong In? Sepertinya dia pergi bersama teman-temannya.’

Hingga suatu hari, di saat angin malam musim panas berhembus. Hee Ra baru saja pulang dari rumah temannya untuk mengembalikan beberapa buku pelajaran yang ia pinjam, gadis itu tanpa sengaja menengok ke arah sebuah caffe kecil yang dipenuhi oleh puluhan remaja pria bersama dengan pasangan ‘nakalnya’ masing-masing.

Matanya langsung terfokus pada sesosok pria dengan kaos hitam dan jaket kulit yang berada di pojok ruangan. Jong In, pria itu sedang mencium gadis lain dan tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Apakah dia tidak sadar jika caffe tersebut memiliki pintu dari kaca? Apa dia tidak sadar jika orang-orang yang lewat bisa melihatnya? Apa dia tidak sadar jika Hee Ra sedang di sana sekarang?

Jadi ini yang selama ini Jong In lakukan? Ia menghilang tanpa kabar untuk gadis itu? Untuk wanita yang bahkan berbanding jauh terbalik dari Hee Ra. Lagipula apa ada wanita baik-baik yang mau diajak ke tempat seperti ini? Bahkan mereka saling berciuman? Apakah wanita seperti itu yang sebenarnya Jong In inginkan?

Tidak tahukah Jong In jika Hee Ra selalu menantikan kabar darinya? Tidak tahukah Jong In jika Hee Ra rela bergadang setiap malam karena takut jika pria itu menghubunginya sewaktu-waktu?

Dimana hati nurani Jong In?

Dimana otak jernih pria itu?

Bukankah ia sudah berjanji akan berubah menjadi pria yang lebih baik?

 

 

 

From : Alexander Kim

“Selamat pagi Shin Hee Ra, sepertinya kekasihmu adalah orang yang sangat baik. Ia bahkan rela memberikan nomormu padaku dan ah, bukankah dia yang menyimpan kontak-ku di ponselmu? Kau ingatkan kemarin malam?”

 

 

Hee Ra mendesah berat, berusaha mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan melihat kaca dirinya. Matanya bengkak, hidungnya merah, ia menangis hampir semalaman gara-gara kejadian kemarin malam.

Ketika ia, Se Hun, Jong In, dan kru lain sedang makan malam di bawah sinar rembulan, tiba-tiba saja Jong In mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. Ia dengan santainya meminta nomor Hee Ra dengan alasan ingin bekerja sama dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Se Hun yang tidak menaruh curiga sedikitpun terlihat sangat senang. Ia menyuruh Hee Ra segera memberikan nomornya pada Jong In, namun Hee Ra menolak. Ia bersikeras menyarankan agar Jong In langsung menemui atasannya di Korea. Tapi apa mau dikata, Se Hun mengambil ponsel Hee Ra dari genggamannya dan langsung memberikan kontak gadis itu pada Jong In. Sebaliknya, Jong In menyuruh Se Hun menuliskan nomornya di ponsel Hee Ra dan menyimpannya.

Sebenarnya Hee Ra bingung. Bagaimana mungkin seorang Kim Jong In kini berganti nama menjadi Alexander Kim? Apakah Alexander hanyalah sebatas nama lain? Atau pria itu sudah benar-benar mengganti namanya? Entahlah.

Drrttt

Kali ini ponselnya kembali bergetar, namun bukan sebuah pesan, melainkan panggilan. Ya Tuhan, apa ini? Jong In menghubunginya? Pria itu meneleponnya? Apa dia sudah gila?

Hee Ra berniat untuk tidak menerima panggilan Jong In, namun pria itu terus saja berusaha menghubunginya, hingga akhirnya ia luluh dan mau menerima panggilan Jong In.

“Shin Hee Ra keluarlah, selamatkan aku!”

Suara Jong In terdengar gemetar. Ia tidak tahu apa yang dimaksud keluar oleh Jong In. Mungkinkah keluar kamar? Atau keluar dari tempat ini dan kembali ke Korea?

“Shin Hee Ra! Kau mendengar suaraku kan? Ku mohon keluarlah! Aku hampir mati!” Kali ini Jong In berteriak.

“Apa maksudmu?”

“Keluarlah Shin Hee Ra, aku berada di luar villamu. Aku bisa mati di tempat jika kau tidak menyelamatkanku!”

Ia tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti, tapi baiklah, Hee Ra memutuskan untuk keluar dari villanya, dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah Jong In yang sudah pucat pasi karena pundaknnya dihinggapi oleh seekor cicak.

Benar, Jong In takut pada cicak. Ia bisa ketakutan setengah mati jika melihat hewan itu.

Hee Ra dengan sigap mengambil cicak yang berada di pundak Jong In lalu membuangnya. Perasaan lega jelas tergambar di wajah Jong In, namun pria itu lemas. Kakinya masih bergetar, apakah ia sanggup berjalan?

Demi apapun. Hee Ra memutuskan untuk membawa Jong In masuk ke dalam villanya. Membiarkan pria itu duduk di sofa dan memberinya secangkir teh hangat, setidaknya dengan begitu Jong In akan merasa lebih baik.

“Minumlah, kau akan merasa lebih baik.” Hee Ra memberikan secangkir teh pada Jong In yang langsung diterima oleh pria itu, sementara ia duduk di atas ranjang sambil menyesap secangkir kopi.

Melihat Hee Ra meminum kopi, Jong In menyipitkan matanya, “Bukankah kau tidak boleh minum kopi? Bagaimana jika perutmu sakit nanti? Taruh cangkirmu Shin Hee Ra!”

Apa perdulinya?

Hee Ra mendecakkan lidah dan menggeleng, “Whatever, coffee make me better.”

How can you liked something who can kill you?”

Tidak ada jawaban dari Hee Ra. Pertanyaan Jong In membuatnya merasa tersudutkan. Apakah pria itu tidak sadar bahwa dia adalah salah satu dari sedikit hal yang disukai oleh Hee Ra, namun bisa membunuhnya perlahan?

“Minumlah tehku, biarkan aku menghabiskan kopimu.” Tawar Jong In. Ia mencoba bangkit dan mengambil kopi Hee Ra, namun kakinya masih gemetar. Ia kehilangan kendali dan cangkirnya terlepas. Tubuhnya juga hampir terbentur lantai, tapi untunglah Hee Ra dengan sigap bangkit dan mencoba untuk menahan tubuh Jong In sehingga pria itu terjatuh tepat dalam pelukkan Hee Ra.

Setidaknya Hee Ra masih memiliki keseimbangan. Mereka tidak benar-benar terjauh ke lantai, melainkan di atas kasur, dengan posisi Jong In berada di atas tubuh Hee Ra, dan kedua pasang mata itu saling bertemu. Membuat keduanya teringat pada masa lalu.

Tiba-tiba saja perasaan yang telah lama terpendam itu kini muncul kembali, memaksa nadi untuk terus keluar dan tak tertahankan. Entah sadar atau tidak, Jong In secara perlahan mendekatkan bibirnya ke bibir Hee Ra, mencoba menyatukan keduanya seperti dahulu. Merasakan betapa dinginnya bibir gadis ini. Bibir yang dulu sempat menjadi miliknya.

 

 

Awal Musim Gugur Lima Tahun Silam.

Busan, Korea Selatan.

 

Busan International Fireworks Festival sudah berlangsung sejak beberapa menit yang lalu. Hee Ra menarik resleting jaketnya lebih ke atas dan bersandar pada badan jembatan. Ia masih merasa sakit hati akan apa yang dilihatnya waktu itu. Sudah dua bulan lebih ia tidak memberikan kabar sama sekali pada Jong In.

Ia merasa bodoh—sangat bodoh—karena waktu itu menerima cinta Jong In. Sudah tahu kalau Jong In terkenal Bad Boy, sudah tahu kalau Jong In bukan anak baik-baik. Tapi dengan mudahnya ia menerima pria itu.

Ya, walaupun semenjak malam itu Jong In merasa sangat bersalah dan berusaha menemui Hee Ra. Berusaha menjelaskan, atau lebih tepatnya berusaha untuk memberikan alasan logis yang dibuat berdasarkan kebohongan untuk membuat Hee Ra berpikir bahwa saat itu hanyalah salah paham belaka. Namun ia tidak begitu. Hee Ra selalu menghindar dari Jong In. Ia membiarkan pria itu melakukan banyak hal dan bahkan tidak menghiraukannya sama sekali. Ia terlalu sakit hati.

“Shin Hee Ra…”

Deg!

Suara itu, Hee Ra mengenalnya.

“Aku tahu kau pasti sangat marah karena kejadian waktu itu, tapi percayalah padaku bahwa tidak ada gadis lain yang kucintai selain kau.”

Pemilik suara itu mendekat, ia menepuk pundak Hee Ra. Memutar tubuh gadis itu hingga kini berada tepat di depannya. Wajahnya kelam, ia seperti pria yang membutuhkan harapan, dan Hee Ra tahu betul bahwa harapan itu akan muncul jika Hee Ra memaafkannya.

“Ku mohon, percayalah padaku. Aku mungkin bukan pria baik, tapi aku akan berusaha menjadi pria baik untukmu. Bukankah aku sudah berjanji dulu? Aku memang mengingkarinya saat itu, tapi maukah kau memberikanku kesempatan kedua? Untuk memperbaiki semuanya?”

Kesempatan kedua?

Fuck second chances. People never change.

“Shin Hee Ra..” Jong In masih berusaha, kali ini ia meremas kedua telapak tangan Hee Ra. “Kau mungkin tidak bisa mempercayai kata-kataku, tapi aku yakin kau bisa mempercayai hatiku yang telah memilihmu dan berjanji akan benar-benar berubah untukmu.”

 

Ia tidak paham betul kenapa hari-hari di Bali berlalu begitu cepat. Setidaknya sudah empat hari ia berada di tempat ini, tentu saja selama dua hari ia terbebas dari gangguan Jong In karena pria itu harus pergi ke luar kota secara mendadak.

Setidaknya ketika Jong In pergi, Hee Ra bisa menikmati saat-saat indahnya bersama Se Hun. Mereka menghabiskan waktu untuk berkunjung ke Tanah Lot, Danau Beratan Bedugul, Garuda Wisnu Kencana, dan yang terakhir menyaksikan Tari Kecak di Pura Uluwatu.

Tapi ada yang berbeda. Kebiasaan masa lalunya kembali. Untuk sekali lagi, dalam tiga hari terakhir Hee Ra telah menggunakan setiap malamnya untuk menangis. Setiap kali mencoba terlelap, tiba-tiba saja deretan kenangan indah dan pahit antara dirinya dan Jong In kembali berputar layaknya film.

Setiap pengorbanan yang ia lakukan, setiap kata dari Jong In yang ia percayai, setiap kesempatan yang ia berikan, setiap dekapan, ciuman, senyuman, dan tangisan yang menemani hari-hari mereka kala itu terangkai indah dalam setiap malamnya.

Bagaimana ini? Lingkaran hitam di matanya semakin kelihatan. Bahkan raut wajah lelah juga napsu makan yang menghilang kembali menghampirinya. Sedikit mirip seperti lima tahun lalu. Semenjak Jong In pergi tanpa mengucapkan perpisahan atau hanya sekedar pesan. Ia selalu menangis dalam setiap malamnya selama tiga tahun berturut-turut. Ia hanya makan sekali dalam satu hari. Ia mengasingkan diri dari pergaulan. Ia menjadi seorang gadis yang pendiam, dan yang paling parah, ia berhenti membuka hatinya untuk semua pria hingga Se Hun datang dan berusaha keras untuk mengobati luka di hatinya.

Will You Marry Me, Shin Hee Ra? Please, I want you to be my queen, my everything.”

Hee Ra terkesiap menyaksikan Se Hun yang saat ini sudah berlutut di depan matanya sambil memegang sebuah cincin di jarinya.

Tidak, bukannya apa tapi pria ini melamar Hee Ra di depan umum. Mereka sedang menghabiskan malam terakhir di Bali dengan sebuah dinner istimewa yang telah direncanakan oleh Jong In.

Dan Se Hun…Apa dia sudah gila? Kenapa melamar Hee Ra di depan Jong In? Ah, benar. Se Hun tidak tahu jika pria yang duduk tidak jauh dari mereka adalah mantan kekasih Hee Ra.

“Shin Hee Ra, jawablah aku. Apa kau mau menikah denganku? Menjadi istri yang sangat kucintai dan ibu dari anak-anakku kelak?”

Hee Ra tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bergejolak. Ia masih sangat mencintai Jong In. Ia ingin hidup bersama Jong In, tapi pria ini, dia menginginkan Hee Ra. Dia adalah pria yang sangat baik. Hee Ra tidak mungkin tega menyakiti hatinya.

“Aku…”

Shin Hee Ra kuatkan hatimu.

Jong In telah meninggalkanmu, untuk apa kau masih berharap padanya? Itu hanya akan membuatmu sakit hati.

“Aku…Aku mau menikah denganmu.”

 

 

Pertengahan Musim Dingin Lima Tahun Silam.

Seoul, Korea Selatan.

 

“Kim Jong In, buang rokokmu!” Hee Ra mengambil paksa sebatang rokok yang tengah dihisap oleh Jong In.

Pria itu nampak kelelahan, badannya sedikit lebih kurus, dan ia kedinginan.

“Ayolah, sekarang sedang musim dingin. Tidak ada salahnya bukan jika aku merokok? Itu akan membuatku sedikit hangat.”

“Tidak. Kenapa kau susah sekali diberitahu sih?”

Jong In menggaruk kepalanya frustasi. Ia mendekati Hee Ra yang kini tengah duduk di sofa dalam kamarnya. “Ayolah Shin Hee Ra. Aku sedang stres memikirkan ujian dan test masuk Universitas. Kenapa kau tidak pernah mengerti hal itu? Sekarang berikan padaku rokok yang kau bawa!”

“Tidak!”

Refleks lengan Hee Ra menghadang Jong In yang berusaha mengambil rokoknya kembali. Ia akhirnya menjatuhkan rokok tersebut dan menginjaknya dengan kaki yang masih menggunakan kaos kaki.

Panas? Tentu.

Tapi ia rela melakukan itu agar Jong In sadar bahwa ia tidak seharusnya merokok. Pria itu harus menjaga kesehatan paru-parunya.

“Apa yang kau lakukan?” Bentak Jong In

“Aku akan melakukan hal yang sama jika melihatmu merokok lagi. Aku akan menginjaknya dengan kakiku.”

“Kau sudah gila ya?” Jong In menggeleng. Ia meraih kaki kanan Hee Ra dan mengangkatnya di paha. “Lihat sekarang, kakimu terluka. Tidak bisakah kau menjaga dirimu?”

“Kau yang melukaiku!”

“Apa?”

“Jika kau terus-terusan merokok, maka kau semakin melukai kakiku karena aku akan terus mengambil dan menginjaknya.”

“Shin Hee Ra!”

 

 

Hee Ra berlari secepat mungkin ke jembatan kecil yang terletak di dekat lapangan tenis. Matanya berkaca-kaca ketika melihat sesosok pria berkemeja putih berantakan sedang termenung sambil bertopang dagu di badan jembatan.

Kenapa dengan pria ini?

Kenapa harus seperti ini?

Hee Ra melangkah hati-hati, mendekati pria itu namun tetap dalam batas yang cukup jauh. Ia hanya tidak ingin luka lamanya kembali. Itu saja.

“Kau melanggar janjimu sendiri, Shin Hee Ra.” Pria itu berbalik. Wajah dan matanya merah. Ya Tuhan, apakah dia menangis? Kim Jong In—

Mulutnya bergetar, berusaha mengeluarkan suara senormal mungkin walaupun sulit dilakukan. “Kau bilang kau hanya akan menikah denganku lalu kenapa tadi kau menerima lamaran pria itu?” Jong In melangkah tertatih. Hatinya sakit. “Katakan padaku Shin Hee Ra, katakan!”

Namun tidak ada jawaban dari Hee Ra. Gadis itu mulai terisak dan memandang cincin yang melingkar di jari manisnya. Kenapa Jong In baru datang sekarang? Kenapa tidak dari bertahun-tahun yang lalu?

“Shin Hee Ra,” Kali ini kedua tangan Jong In telah memegang pundak Hee Ra. “Katakan padaku! Katakan apa alasanmu menerima lama—“

“Karena kau tidak pernah memintaku untuk menunggu!”

Teriakkan itu keluar dari mulut Hee Ra secara tidak disangka. Ia sakit sekarang. Luka lamanya kembali muncul.

“Karena kau pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal! Karena kau meninggalkan luka di hatiku! Karena kau tega membuatku mencintaimu tapi tidak pernah mengajari bagaimana caranya untuk melupakanmu…” Ia menangis sekarang. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Telapak tangannya terasa berat untuk menutupi mulutnya yang terisak.

“Maafkan aku,” Jong In berusaha menarik Hee Ra dalam pelukkannya. Ia ingin memperbaiki kesalahannya. Ia ingin membahagiakan Hee Ra dan memenuhi janjinya. Tapi Hee Ra menolak. Gadis itu tidak ingin Jong In menariknya. Ia melepaskan kedua lengan Jong In dengan kasar dan menjauh beberapa langkah.

“Kenapa kau baru meminta maaf sekarang? Tidak tahukah kau kalau aku berjuang melupakanmu selama bertahun-tahun? Kau jahat Kim Jong In. Aku membencimu!”

“Tidak, kau tidak pernah membenciku Shin Hee Ra.”

“Aku membencimu!”

“Kau mencintaiku..” Berikan Jong In kekuatan. Ia harus meraih lengan Hee Ra dan memeluknya sekarang. Ia harus memeluk Hee Ra. “Kau mencintaiku Shin Hee Ra, kau sangat mencintaiku.”

Semua yang dikatakan oleh Jong In benar. Hee Ra memang sangat mencintai Jong In. Ia bahkan rela memberikan segalanya yang ia miliki untuk pria itu.

“Kemarilah..”

Tidak. Jong In tidak boleh mendekatinya.

“Peluklah aku. Jika kau tidak mau, biarkan aku memelukmu Shin Hee Ra. Aku merindukanmu..”

Shin Hee Ra sadarlah! Jangan biarkan dirimu lemah karena Jong In. Tapi apalah daya Hee Ra saat ini. Ia terlalu lemas untuk melangkah sehingga membiarkan Jong In meraih dan memeluknya.

Tidak apa-apa Shin Hee Ra. Tidak apa-apa karena ini akan menjadi pelukkan terakhir yang mereka lakukan. Ini akan menjadi saat terakhir dimana Hee Ra bisa mencurahkan isi hatinya selama ini.

Hee Ra bisa merakan Jong In menangis dalam pundaknya. Ia bisa merakan bajunya basah karena air mata pria itu. Air mata yang tiba-tiba saja bisa menebus seluruh rasa sakit hati Hee Ra. Air mata yang akhirnya menggerakkan kedua lengan Hee Ra untuk membalas pelukkan Jong In dan berbisik dengan begitu lembut di telinga pria itu.

“Aku mencintaimu Kim Jong In, tidak ada yang berubah meski hatiku saat ini membencimu. Aku tetap mencintaimu.”

 

 

Akhir Musim Dingin Lima Tahun Silam.

Seoul, Korea Selatan.

 

Hee Ra menangis di depan pintu rumahnya. Tangannya memegang pigura kecil berisi fotonya dan Jong In ketika menyaksikan festival kembang api di Busan. Tidak hanya itu, sebuah kardus besar berisi barang-barang yang pernah ia berikan pada Jong In itupun kini sudah tergeletak di depannya.

Ia tidak tahu kapan Jong In metelakkan kardus ini, yang ia tahu hanyalah rumah Jong In sudah kosong dan tidak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan pria itu. Dan yang lebih menyedihkan adalah Jong In tidak meninggalkan kontaknya.

Berkali-kali Hee Ra mencoba menghubungi nomor Jong In, namun nomornya sudah tidak aktif. Berusaha menghubunginya lewat SNS, ternyata akunnya sudah di non-aktifkan, dan hanya bersisa sekardus benda kenangan mereka yang diletakkan begitu saja.

Jong In telah pergi. Pria itu kembali menyakiti hatinya. Apakah ia sudah tidak ingat kalau mereka memiliki jadwal kencan hari ini? Bukankah Jong In sudah berjanji akan mengajak Hee Ra menyaksikan Seongsan Sunrise Festival sekaligus merayakan kelulusannya.

Tapi apa?

Pria itu malah pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Kenapa Jong In begitu egois? Tidak bisakah dia memikirkan seperti apa perasaan Hee Ra sekarang?

Rasa percayanya mulai memudar. Ya, mulai sekarang Hee Ra memutuskan untuk berhenti mempercayai perkataan yang keluar dari mulut setiap lelaki karena hatinya sudah lelah disakiti…

 

The End

41 pemikiran pada “A Pain To Remember

  1. oh tuhan kenapa ceritanya sungguh menyedihkan. jongin bener2 keterlaluan yaa. bisa2nya dia datang stelah meninggalkan hyera gitu aja. sayangnya disini gak dijelasin knp jongin pergi.
    keren bgt ffnya, selalu diselingi kisah jongin hyera masa lalu. jadi bener2 dpt feel buat hyeranya sendiri

  2. Ending nya sma Sehun kan?????
    Jong In juga knp dy pergi tba2….dn knp gk d jelsin alesan dy pergi…. Biar y baca bsa liat dsisi mna y slahhh

  3. Romantis abis ini cerita , ampek dag dig dug hati ku , feel nya jong in sama hee ra pas terakhir nya dpt bgt 😉
    daebak !

  4. Kasihan hee ra. Jong in kenapa main tinggal aja dulu? Trus alasannya tiba2 hilang itu apa ya, kok ga dijelasin
    Endingnya tetap sama sehun kan?

  5. so how about this ending tetep ma sehun atau kembali lagi ma jongin
    jongin yang dulu tiba” menghilang tanpa jejak dan kepastian masih dengan begitu mudahnya mendapatkan hee ra dibanding sehun yany dengan tulus mencintai hee ra dan selalu ada buat dia
    jahat sich menurutku hee ra

    sequel ya kayaknya masih butuh kejelasan

  6. jongiiinnnn gatau diri banget. sikap dia kya gapunya perasaan aja!
    eonnie.. aku minta squelnya dong 😀 soalnya ada beberapa hal yg masih nggantung.
    n endingnya juga.. gmna nanti hubungan hyera n sehun? apa dia bakalan balik sama jongin?
    haaa~ eonnieee.. aku penasaran ><

  7. ya tuhan aku nangis beneran
    serius kenapa jongin tega ninggalin hera gitu aja
    dan jongin ganti namanya karna dia gak mau ngengingat hera ya ??
    tapi sumpah disini semua serba nyesek,aku jadi kebayang gimana rasanya jadi sehun huhuhu *poor sehun*
    tapi sumpah kak,,sequel dong gantung banget kalau diginiin /? setidaknya endingnnya jelas gitu

  8. Wow daebak bngt ceritanya,,,
    👍👍👍👍👍👍
    Feelny dpt bgt wktu bacanya, pokoknya keren deh..
    Apa ad kelanjutannya??
    Squel?? Ditunggu ya,, crtnya gantng,bikin penasaran..
    #Keepwritingandhwaiting

  9. endingnya tetep sama Sehun kan? alhamdulillah…
    iya kak, kasih sequelnya yaa… jebaal. btw, kok aku ngerasa puas ya pas Jongin ga balik lagi sama Heera? berasa puas gitu 😀
    oya, hallo, Kak.. aku isan, 97line. salam kenal ya ^^

Tinggalkan Balasan ke Heena Park Batalkan balasan